Apr 23, 2013

penggunaan sistem MLM untuk dana haji


     LATAR BELAKANG
    Sistem Multilevel Marketing (MLM) nampaknya sudah bukan sesuatu yang dianggap tabu oleh masyarakat. MLM adalah salah satu cara pemasaran untuk menjual barang atau sesuatu secara langsung, yang metode pemasarannya adalah mata rantai Up Line-Down Line dan sistem bisnisnya adalah dengan cara menjaring calon nasabah yang sekaligus berfungsi sebagai konsumen dan anggota dari perusahaan. Konsumen yang dimaksud disini bukan hanya konsumen pasif, tetapi juga sebagai pemasar dari produk perusahaan MLM tersebut. Dan sistem MLM ini bukan hanya untuk barang yang berwujud saja, namun haji dan umroh juga bisa menggunakan sistem tersebut.
     
     PANDANGAN ISLAM TERHADAP MLM
    Bisnis dalam syari’ah Islam pada dasarnya termasuk kategori muamalat yang hukum asalnya adalah boleh berdasarkan kaedah Fiqh,”Al-Ashlu fil muamalah al-ibahah hatta yadullad dalilu ‘ala tahrimiha (Pada dasarnya segala hukum dalam muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil/prinsip yang melarangnya). Berikut prinsip-prinsip menurut Islam tentang pengembangan sistem bisnis, diantaranya:
a.    Harus terbebas dari unsur dharar (bahaya), jahalah (ketidakjelasan) dan zhulm (merugikan atau tidak adil terhadap salah satu pihak).
b.    Sistem pemberian bonus harus adil, tidak menzalimi dan tidak hanya menguntungkan orang yang di atas.
c.    Bisnis juga harus terbebas dari unsur maghrib, singkatan dari lima unsur: Maysir (judi), Aniaya (zhulm), Gharar (penipuan), Haram, Riba (bunga), Iktinaz atau Ihtikar dan Bathil.
    
     Seseorang yang ingin mengembangkan bisnis MLM, haruslah terbebas dari unsur-unsur di atas. Jadi, barang atau jasa yang dibisniskan serta tata cara penjualannya harus halal. MLM yang menggunakan strategi pemasaran secara bertingkat (levelisasi) sebenarnya mengandung unsur-unsur positif, asalkan diisi dengan nilai-nilai Islam dan sistemnya disesuaikan dengan syari’ah Islam. Metode semacam ini pernah digunakan Rasulullah dalam melakukan dakwah Islamiyah pada awal-awal Islam yang membuat Islam dapat di terima oleh masyarakat kebanyakan. [1] Bisnis sistem MLM tidak hanya penjualan produk barang, tetapi juga jasa, yaitu jasa marketing yang berlevel-level (bertingkat-tingkat) dengan imbalan berupa marketing fee, bonus, hadiah dan sebagainya, tergantung prestasi, dan level seorang anggota. Jasa marketing yang bertindak sebagai perantara antara produsen dan konsumen. Dalam istilah fikih Islam disebut Samsarah/Simsar. [2]

     PENGGUNAAN SISTEM MLM DALAM DANA HAJI
   Bisnis sistem MLM tidak hanya penjualan produk barang, tetapi juga jasa, yaitu jasa marketing yang berlevel-level (bertingkat-tingkat) dengan imbalan berupa marketing fee, bonus, hadiah dan sebagainya, tergantung prestasi, dan level seorang anggota. Sering kali Biro Haji/Umrah MLM memanfaatkan haji dan umrah sebagai reward bila memenuhi syarat yang ditentukan oleh Biro Haji/ Umrah MLM tersebut atau menggunakan cara berantai atau arisan. Namun kenyataannya, lebih banyak anggota tersebut kecewa dengan Biro Haji / Umrah MLM yang bersangkutan karena tidak sesuai harapan yang dijanjikan.
    
    Biro Haji/ Umrah MLM cenderung memperbanyak downline/member agar bisa jadi tempat mencari nafkah. Jadi 1 MLM itu bisa merekrut ratusan ribu hingga jutaan member. Permasalahan utamanya adalah mampukah mereka mengatur jutaan member berumrah/berhaji, sebab biro haji ternama saja paling cepat cuma mampu mengelola 1000 jemaah untuk setiap keberangkatan. Lebih dari itu, jema’ah bisa terlantar karena pengelola kekurangan tenaga ahli yang berpengalaman untuk membimbing jema’ah. Jika nanti mudharat / menelantarkan jemaah, itu sudah tidak benar. Harry Sufehmi di milis Isnet pernah menulis bagaimana satu Biro Haji besar dan terkenal mungkin karena jema’ahnya terlalu banyak, akhirnya tidak mampu mengurus mereka (akomodasi, transportasi, dsb). Sulit sekali mengatur kendaraan untuk ribuan jema’ah dari satu tempat ke tempat lain pada waktu tertentu. Akibatnya Wukuf di Arafah yang merupakan satu rukun haji terlewat. Walhasil haji jema’ahnya tidak sah. [3]


[1] Azhari Akmal Tarigan, Ekonomi dan Bank Syari’ah, (FKEBI IAIN, 2002), hlm. 30
[2] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, jilid II, hlm. 159





No comments:

Post a Comment