May 1, 2013

Hukum Lingkungan - analisa Mandalawangi

Di dalam putusan No. 1794 K/Pdt/2004 dibahas mengenai gugatan yang diajukan oleh Dedi, Hayati, Entin, Oded Sutisna, Ujang Ohim, Dindin Holidin, Aceng Elim, dan Mahmud. Mereka adalah warga dari Kecamatan Kadung Ora, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat (Penggugat/Termohon Kasasi) yang mengajukan gugatan lewat gugatan perwakilan (class action) di Pengadilan Negeri Bandung atas dasar Strict Liability (tanggung jawab mutlak) melawan:
1.      Direksi Perum Perhutani Cq. Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat (Tergugat I/Pemohon Kasasi I)
2.      Pemerintah Republik Indonesia Cq Presiden RI (Tergugat II/Pemohon Kasasi II)
3.      Pemerintah Daerah Tk. I Provinsi Jawa Barat Cq Gubernur Provinsi Jawa Barat (Tergugat III/Pemohon Kasasi III)
4.      Pemerintah Republik Indonesia Cq Presiden RI Cq Menteri Kehutanan RI (Tergugat IV/Pemohon Kasasi IV)
5.      Pemerintah Daerah Tk. II Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Cq Bupati Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat (Tergugat V/Pemohon Kasasi V).

Kasus ini digugat oleh Penggugat karena adanya kejadian longsor di kawasan gunung Mandalawangi sehingga lingkungan hidup kawasan itu menjadi rusak dan menimbulkan kerugian warga Gunung Mandalawangi. Penggugat menyatakan bahwa longsor yang menimpa desa mereka berasal dari wilayah hutan yang berada dalam kekuasaan Perhutani, dan akibatnya mereka meminta agar pihak Perhutani bertanggung jawab atas strict liability atas kerugian yang terjadi. Pengggugat juga menggugat Pemerintah agar bertanggungjawab karena telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan melalaikan kewajibannya untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan Perhutani.
Dilihat dari faktor penyebabnya, bentuk kerusakan lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: kerusakan lingkungan hidup akibat peristiwa alam dan kerusakan lingkungan hidup akibat faktor manusia.[1] Kami sekelompok berargumen bahwa dalam Kasus Mandalawangi dengan Putusan No. 1794 K/Pdt/2004 dapat dikategorikan sebagai suatu kejadian yang merupakan bentuk kerusakan lingkungan hidup akibat faktor manusia karena kejadian ini telah dapat diprediksi sebelumnya oleh para tergugat namun mereka tetap tidak menjalankan prinsip kehati-hatian (Precautionary Principle) untuk mencegah terjadinya longsor.
The precautionary principle atau yang biasa disebut dengan prinsip kehati-hatian adalah salah satu prinsip hukum lingkungan yang dipakai saat ada ancaman yang serius tanpa diharuskan ada bukti yang cukup. Sehingga kurangnya bukti/kepastian ilmiah tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda dilakukannya tindakan pencegahan. Hal ini dapat digunakan untuk memutuskan apa yang seharusnya diperbolehkan untuk terjadi di masa depan. Pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian melahirkan suatu tanggung jawab mutlak kepada aparat tergugat tanpa bergantung pada ada tidaknya pembuktian dari para tergugat. [2]
Tergugat dalam hal ini mendalilkan bahwa kejadian longsor di Gunung Mandalawangi merupakan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi akibat bencana alam, berupa curah hujan diatas normal. Namun kami sekelompok tidak sependapat dengan Tergugat, kami mengategorikan kasus ini sebagai suatu kejadian yang merupakan bentuk kerusakan lingkungan hidup akibat faktor manusia karena kejadian ini telah dapat diprediksi sebelumnya oleh para tergugat namun mereka tetap tidak menjalankan prinsip kehati-hatian untuk mencegah terjadinya longsor. Dalil Tergugat tidak memenuhi syarat karena para tergugat yang telah mengetahui titik rawan longsor dan kemungkinan terjadi longsor tidak menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) sebelum kejadian longsor terjadi.
Tergugat terkait dengan Precautionary Principle terlihat Tergugat I tidak menerapkan prinsip tersebut karena walaupun telah ada bukti yang pasti dari hasil temuan yang menunjukkan bahwa terdapat beberapa titik rawan longsor, namun tetap tidak menanganinya secara khusus sehingga terlihat tidak ada upaya pencegahan yang disebabkan oleh Tergugat I. Prinsip ini walaupun dalam eksepsi dan memori kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I dahulu Tergugat I didalilkan bahwa belum berlaku sebagai hukum positif di Indonesia tetapi Precautionary Principle ini telah dipandang sebagai ius cogen yaitu sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat Internasional secara keseluruhan serta sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma hukum dasar Internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama
Hakim dalam mengadili kasus ini merujuk pada asas kehati-hatian sebagaimana dirumuskan dalam prinsip ke-15 Deklarasi Rio. Walaupun asas kehati-hatian belum dimasukkan ke dalam sistem hukum Indonesia, akan tetapi asas ini dapat digunakan oleh Pengadilan sebagai arahan bagi putusan Pengadilan. Ini termuat dalam pertimbangan hakim dalam Putusan No. 1794 K/Pdt/2004 yang mana tertulis Majelis Hakim dalam pertimbangan tingkat pertama menyatakan: “dalam keadaan kurangnya ilmu pengetahuan termasuk adanya pertentangan pendapat yang saling mengecualikan sementara keadaan lingkungan sudah sangat rusak, maka Pengadilan dalam kasus ini harus memilih dan berpedoman kepada prinsip hukum lingkungan yang dikenal dengan pencegahan dini “Precautionary Principle”, Prinsip ke-15 yang terkandung dalam asas Pembangunan Berkelanjutan pada Konperensi Rio tanggal 12 Juni 1992 (United Nation Conference an Environment and Development) walauppun prinsip ini belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia, tetapi karena Indonesia sebagai anggota dalam konperensi tersebut maka semangat dari prinsip ini dapat dipedomani dan diperkuat dalam mengisi kekosongan hukum dalam praktek”.
Sehingga hakim berpendapat dengan diterapkannya asas kehati-hatian dalam kasus ini, maka pertanggungjawaban telah bergeser dari pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (perbuatan melawan hukum) menjadi pertanggungjawaban tanpa kesalahan (strict liability). Di putusan ini Mahkamah Agung menolak alasan yang diajukan oleh tergugat karena menurut MA, baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi telah tepat menerapkan strict liability dalam mengadili kasus ini. Mahkamah Agung berpendapat penyebab dari longsor dan kegiatan pengelolaan hutan oleh tergugat telah terbukti, dan karena tergugat tidak dapat membuktikan sebaliknya maka tergugat bertanggungjawab secara mutlak atas kerugian yang terjadi. MA mendukung penerapan asas kehati-hatian sebagai dasar penetapan strict liability karena menurut MA, Hakim tidak salah menerapkan hukum bila ia mengadopsi ketentuan hukum Internasional. Penerapan precautionary principle di dalam hukum lingkungan hidup hanya untuk mengisi kekosongan hukum. Dan mengenai pendapat para Pemohon Kasasi (Tergugat) bahwa Pasal 1365 KUHPerdata dapat diterapkan dalam kasus ini tidak dapat dibenarkan karena penegakkan hukum lingkungan hidup dilakukan dengan standar hukum internasional yang mana ketentuan hukum Internasional dapat digunakan oleh hakim nasional apabila telah dipandang sebagai ius cogen.
Di tahun 2005, setelah prinsip kehati-hatian telah diakui melalui putusan pengadilan, melalui  PP No.  21 tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika (PRG), prinsip kehati-hatian masuk ke dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia.  Pasal 3 PP No. 21 tahun 2005 menyatakan bahwa ketentuan-kententuan yang diterapkan dalam PP ini menggunakan pendekatan kehati-hatian guna mencapai keamanan lingkungan.  Lebih jauh lagi, Penjelasan dari Pasal 3 ini menyatakan bahwa asas kehati-hatian diterapkan dalam bentuk adanya kewajiban melakukan penilaian resiko (risk assessment) dan pengelolaan resiko (risk management) sebelum diizinkannya penggunaan atau pemanfaatan PRG.[3]
Pengakuan terhadap prinsip kehati-hatian (precautionary principle) adalah sebagai sebuah prinsip pengelolaan lingkungan secara umum yang tidak hanya terbatas pada persoalan  GMOs akhirnya dimunculkan dalam peraturan perundang-undangan kita melalui  Pasal 2f UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dimana daam pasal itu dinyatakan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan didasarkan, salah satunya, pada asas kehati-hatian. Dalam Penjelasan Pasal 2f dijelaskan juga yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup” penting lagi karena pengadilan juga berani melakukan  judicial activism  dengan memberikan penafsiran baru atas asas kehatihatian. Dalam hal ini pengadilan menafsirkan asas kehati-hatian dengan menghubungkannya dengan pertanggungjawaban perdata.  Dalam penafsiran seperti ini, asas kehati-hatian tidak lagi sekedar berfungsi sebagai tuntunan bagi pengambilan keputusan, tetapi juga sudah merupakan landasan bagi pertanggungjawaban perdata, sebab apabila kerugian muncul, maka pelaku usaha/kegiatan akan memikul tanggung jawab tanpa bisa berasalasan bahwa kerugian yang terjadi tidak bisa diperkirakan. Dengan kata lain, putusan ini mengimplikasikan bahwa kegagalan menerapkan asas kehatihatian dapat menimbulkan pertanggungjawaban perdata.  Menurut dugaan penulis, ini merupakan putusan pengadilan pertama di dunia yang secara tegas menghubungkan asas kehati-hatian dengan pertanggungjawaban perdata.[4]
Tergugat dalam hal ini mendalilkan bahwa kejadian longsor di Gunung Mandalawangi merupakan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi akibat bencana alam, berupa curah hujan diatas normal. Namun kami sekelompok tidak sependapat dengan Tergugat, kami berargumen bahwa dalam Kasus Mandalawangi dengan Putusan No. 1794 K/Pdt/2004 dapat dikategorikan sebagai suatu kejadian yang merupakan bentuk kerusakan lingkungan hidup akibat faktor manusia karena kejadian ini telah dapat diprediksi sebelumnya oleh para tergugat namun mereka tetap tidak menjalankan prinsip kehati-hatian untuk mencegah terjadinya longsor. Dalil Tergugat tidak memenuhi syarat karena para tergugat yang telah mengetahui titik rawan longsor dan kemungkinan terjadi longsor tidak menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) sebelum kejadian longsor terjadi.
Tergugat terkait dengan Precautionary Principle terlihat Tergugat I tidak menerapkan prinsip tersebut karena walaupun telah ada bukti yang pasti dari hasil temuan yang menunjukkan bahwa terdapat beberapa titik rawan longsor, namun tetap tidak menanganinya secara khusus sehingga terlihat tidak ada upaya pencegahan yang disebabkan oleh Tergugat I. Prinsip ini walaupun dalam eksepsi dan memori kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I dahulu Tergugat I didalilkan bahwa belum berlaku sebagai hukum positif di Indonesia tetapi Precautionary Principle ini telah dipandang sebagai ius cogen yaitu sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat Internasional secara keseluruhan serta sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma hukum dasar Internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama. Sehingga



Menurut kelompok kami, pertimbangan hakim sudah sangat tepat karena Precautionary Principle dapat diterapkan dalam kasus ini. Walaupun pada saat kasus ini diputus memang prinsip hukum lingkungan Precautionary Principle ini belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia karena masih menggunakan UUPLH lama yaitu Nomor 23 Tahun 1997 yang belum menganut  Precautionary Principle. Sehingga hakim dalam memutus akhirnya saat itu memilih dan berpedoman pada Precautionary Principle yang merupakan prinsip ke-15 Konperensi Rio. Walaupun prinsip ini belum masuk dalam perundang-undangan tetapi karena Indonesia merupakan salah satu anggota dalam konperensi tersebut maka dapatlah dipedomani dan diperkuat dalam mengisi kekosongan hukum dalam praktek.
Berbeda halnya jika kasus ini diputus saat ini karena telah ada UUPLH terbaru yaitu UU Nomor 32 Tahun 2009 yang mana sudah menganut Precautionary Principle. Sehingga jika kasus ini diputus saat sekarang maka dasar hukum nya telah jelas memakai perundang-undangan Indonesia yaitu Pasal 2F UU No. 32 Tahun 2009. Namun, hukum lingkungan pada umumnya memang banyak mendasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum internasional. Lagipula sebagaimana dikatakan oleh hakim  Precautionary Principle ini telah dipandang sebagai ius cogen, yaitu sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan serta sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama. Dengan demikian, hakim tepat dalam menerapkan hukum apabila hakim mengadopsi ketentuan hukum Internasional, yaitu Precautionary Principle.


Para penggugat dan orang-orang yang diwakili mereka adalah korban tanah longsor Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut dan telah menderita kerugian berupa hilangnya harta benda, rusaknya lahan pertanian dan ladang, meninggalnya sanak saudara dan rusaknya fasilitas umum serta kerusakan ekosistem setempat. Majelis Hakim Pengadilan Negeri dalam pertimbangannya (Nomor 49/Pdt.G/2003/PN.BDG, Tanggal 28 Agustus 2003), antara lain mengatakan bahwa negara memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup. Tanggung jawab negara itu dilaksanakan oleh pemerintah yang dipimpin oleh Presiden RI, tetapi karena Presiden telah membentuk Menteri Kehutanan, maka pengelolaan kehutanan sepenuhnya telah menjadi tanggungjawab Menteri Kehutanan. Menteri Kehutanan telah memberikan kewenangan kepada Perum Perhutani Jawa Barat untuk mengelola kawasan hutan Gunung Mandalawangi. Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Garut sesuai dengan lingkup tugas masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berlaku pada waktu terjadinya banjir dan longsor di Gunung mandalawangi juga memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan pengelolaan kawasan hutan Mandalawangi karena kawasan hutan itu berada dalam wilayah hukum Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut. Majelis Hakim dalam pertimbangannya juga mengatakan bahwa telah terjadi perubahan kebijakan pengelolaan kawasan hutan di Gunung Mandalawangi yang dilakukan oleh Menteri Kehutanan, yaitu dengan mengubah status fungsi kawasan hutan yang sebelumnya kawasan hutan lindung kemudian menjadi kawasan hutan produksi terbatas berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 419/KPTS/II/1999 dengan segala akibat-akibatnya seperti berkurangnya jumlah tegakan pohon dan kegagalan reboisasi sehingga kawasan hutan Mandalawangi tidak lagi memiliki kemampuan resapan air. Selanjutnya Majelis Hakim mengatakan bahwa kerugian lingkungan dan kerugian materiil para penggugat yang disebabkan oleh banjir dan longsor di Gunung Mandalawangi telah faktual sehingga tidak perlu dibuktikan lagi. Masalah hukum yang masih perlu dibuktikan adalah hubungan kausalitas, yaitu perubahan fungsi kawasan hutan Gunung Mandalawangi dari kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi yang didasarkan pada perubahan kebijakan kehutanan sebagaimana tercermin dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 419/KPTS/II/1999 telah menyebabkan banjir dan longsor. Hal yang menarik adalah Majelis Hakim juga dalam pertimbangannya merujuk pada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yaitu prinsip ke-15 dalam Deklarasi Rio sebagai dasar untuk pemecahan masalah tentang “kurangnya ilmu pengetahuan” yang diperlihatkan dengan keterangan keterangan para saksi ahli dari kedua belah pihak yang saling bertentangan sehingga keterangan mereka tidak dapat dijadikan alat bukti untuk menyimpulkan penyebab fakta telah terjadinya banjir dan longsor di Gunung Mandalawangi. Meskipun prinsip keberhati-hatian belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia, tetapi karena Indonesia adalah sebagai salah satu negara peserta Konferensi Rio 1992, maka prinsip ini dapat dipedomani dan diperkuat untuk mengisi kekosongan hukum dalam praktik. Amar Putusan Pengadilan Negeri Bandung (Nomor 49/Pdt.G/2003/PN.BDG Tanggal 28 Agustus 2003) adalah sebagai berikut:
1.      Mengabulkan gugatan perwakilan (class action) dari para wakil kelompok masyarakat korban longsor Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut untuk sebagiannya.
2.      Menyatakan bahwa Tergugat I (Direksi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat), tergugat III (Menteri Kehutanan), tergugat IV (Pemerintah Provinsi Jawa Barat) dan tergugat V (Pemerintah Kabupaten Garut) bertanggungjawab secara mutlak (strict liability) atas dampak yang ditimbulkan oleh adanya longsor dikawasan hutan Gunung Mandalawangi, Kecamatan Kedungora Kabupaten Garut.
3.      Menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V tersebut untuk melakukan pemulihan keadaan lingkungan di areal hutan Gunung Mandalawangi tempat terjadinya longsor langsung dan seketika dengan ketentuan sebagai berikut:
Pertama, Pemulihan (recovery) di kawasan Gunung Mandalawangi dibebankan kepada Tergugat I dan Tergugat III dengan perintah supaya dilakukan rehabilitasi hutan dan lahan agar memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga, dengan biaya yang harus ditanggung oleh Tergugat I dan Tergugat III secara tanggung renteng, yang apabila akan diserahkan pelaksanaannya kepada masyarakat sesuai dengan Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan berpedoman pada Knomor 31/KPTSII/ 2001 Tanggal 12 Februari 2001 Tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, pendanaan tersebut tidak boleh kurang dari jumlah Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) dengan disetorkan kepada Tim yang akan ditetapkan dibawah ini. Kedua, Menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V secara tanggung renteng membayar ganti kerugian kepada korban longsor Gunung Mandalawangi tersebut sebesar Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dengan disetorkan kepada Tim yang akan ditetapkan di bawah ini. Ketiga, Menetapkan prosedur pelaksanaan pemulihan lingkungan kawasan longsor di Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora serta tata cara pengalokasian dana ganti kerugian kepada wakil kelompok dan masyarakat korban yang tergabung ke dalam anggota kelompok gugatan perwakilan ini melalui satu tim/panel yang dikoordinasikan oleh Badan Perencana Pembangunan Daerah Pemerintah Kabupaten Garut sebagai Ketua Tim Perwakilan BAPEDALDA Pemerintah Kabupaten Garut, kuasa para wakil kelompok serta dua orang perwakilan dari Pusat Studi Lingkungan Hidup UNPAD Bandung masing-masing sebagai anggota. Keempat, memerintahkan kepada Gubernur Jawa Barat (Tergugat IV) untuk mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pembentukan Tim tersebut lengkap dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana isi diktum putusan ini. Kelima, memerintahkan kepada Tim/Panel tersebut untuk melakukan pemantauan dan melakukan upaya hukum manakala pelaksanaan pemulihan lingkungan tidak sesuai dengan perintah dalam putusan ini serta mengalokasikan dana ganti kerugian tersebut kepada masyarakat korban yang tergabung dalam wakil dan anggota kelompoknya yang jumlah dan identitasnya tercatat dalam Berita Acara Persidangan ini, secara adil sesuai dengan bobot dan besarnya kerugian berdasarkan jenis kerugian yang dideritanya. Keenam, menetapkan sebagai hukum bahwa manakala pembentukan Tim/Panel serta pengalokasian dana ganti kerugian sulit dilakukan, maka pelaksanaannya ditempuh proses pelaksanaan putusan (upaya paksa) dikoordinasikan oleh Panitera Pengadilan Negeri Kelas I B Bandung.
4.      Menyatakan putusan atas perkara ini dapat dilaksanakan secara terlebih dahulu walaupun ada upaya hukum dari para Tergugat (Uit voorbaar bij voorad).
5.      Menolak gugatan selain dan selebihnya. Putusan Pengadilan Negeri Bandung ini kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung (Putusan Nomor 507/PDT/2003/PT.Bdg Tanggal 5 Februari 2004) dengan perbaikan amar putusan tanpa mengubah substansi putusan. Mahkamah Agung Republik Indonesia (Putusan Nomor 1794 K /Pdt/2004 Tanggal 22 Januari 2007) juga menolak permohonan kasasi para tergugat atau para pembanding yang berarti Mahkamah Agung Republik Indonesia memperkuat putusan Pengadilan Negeri Bandung tersebut.



[1] Hardjaloka L,  ”Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle  sebagai “Ius Cogen” dalam Kasus Gunung Mandalawangi Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004,”  Jurnal Yudisial (2 Agustus 2012): 135
[2] Ibid, hal.134.
[3] Andri G. Wibisana, “Konstitusi Hijau Perancis: Komentar atas Asas- Kehati-hatian dalam Piagam Lingkungan Perancis 2004,” Jurnal Konstitusi (Juni 2011): 236
[4] Ibid, hal. 238.

Quote of the day

"Success is often achieved by those who don't know that failure is inevitable" -Coco Chanel-

Apr 30, 2013

BEASISWA DATA PRINT

Program beasiswa DataPrint telah memasuki tahun ketiga. Setelah sukses mengadakan program beasiswa di tahun 2011 dan 2012, maka DataPrint kembali membuat program beasiswa bagi penggunanya yang berstatus pelajar dan mahasiswa.  Hingga saat ini lebih dari 1000 beasiswa telah diberikan bagi penggunanya.
Di tahun 2013 sebanyak 500 beasiswa akan diberikan bagi pendaftar yang terseleksi. Program beasiswa dibagi dalam dua periode. Tidak ada sistem kuota berdasarkan daerah dan atau sekolah/perguruan tinggi. Hal ini bertujuan agar beasiswa dapat diterima secara merata bagi seluruh pengguna DataPrint.  Beasiswa terbagi dalam tiga nominal yaitu Rp 250 ribu, Rp 500 ribu dan Rp 1 juta. Dana beasiswa akan diberikan satu kali bagi peserta yang lolos penilaian. Aspek penilaian berdasarkan dari essay, prestasi dan keaktifan peserta.
Beasiswa yang dibagikan diharapkan dapat meringankan biaya pendidikan sekaligus mendorong penerima beasiswa untuk lebih berprestasi. Jadi, segera daftarkan diri kamu, klik kolom PENDAFTARAN pada web ini!
Pendaftaran periode 1 : 1 Februari – 30 Juni 2013
Pengumuman                : 10 Juli 2013

Pendaftaran periode 2   : 1 Juli – 31 Desember 2013
Pengumuman                : 13 Januari 2014

PERIODE
JUMLAH PENERIMA BEASISWA
@ Rp 1.000.000@ Rp 500.000@ Rp 250.000
Periode 1
50 orang
50 orang
150 orang
Periode 2
50 orang
50 orang
150 orang

Analisis Organisasi Perusahaan


I.             FACTS
Dalam bagian Facts sebuah case brief, akan di uraikan mengenai fakta-fakta yang terdapat di dalam sebuah kasus, kedudukan-kedudukan para pihak dalam pengadilan, dan diceritakan juga mengenai duduk perkara yang timbul dan masuk ke dalam pengadilan.

Putusan yang ditetapkan oleh Hakim Mahkamah Agung No. 1428 K/PDT/2010 berisi tentang perkara perdata di tingkat proses kasasi antara CV. Baratama Makmur yang diwakili oleh kuasanya Djamaludin, S.H. Advokat yang berkantor di Jalan Mitra Sunter Boulevard Blok B 26, Jakarta Utara, berdasarkan Surat Kuasa Khusus melawan PT. Nusantara Rimbayu Coal yang berkedudukan di Jalan Klampis Indah III/10 (Blok C-4) Surabaya 60117.

CV. Baratama Makmur yang diwakili oleh kuasanya Djamaludin, S.H. dalam hal ini berkedudukan sebagai adalah Pemohon Kasasi dahulu Penggugat/Pembanding. Sedangkan PT. Nusantara Rimbayu Coal berkedudukan  sebagai Termohon Kasasi dahulu Tergugat /Terbanding.

Fakta hukum yang terdapat dalam kasus ini adalah:
Penggugat dalam pengadilan tingkat pertama adalah CV. Baratama Makmur, selaku Pemegang Kuasa Pertambangan Ekploitasi Batubara (KW 05BB004), berlokasi di Kelurahan Sempaja dan Air Putih, Kecamatan Samarinda Utara dan Samarinda Ulu, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, seluas 84,33 Ha (hektar ), berdasarkan Surat Keputusan Walikota Samarinda No. 545/024/HUK- KS/2005, tanggal 20 Januari 2005 jo. Surat Keputusan Walikota Samarinda No. 309/HK- KS/2005, tanggal 18 Juli 2006 jo Surat Keputusan Walikota Samarinda No. 312/HK- KS/2005, tanggal 18 Juli 2005 dan Penggugat juga adalah pemegang Kuasa Pertambangan Eksploitasi Batubara (KW05BB003) berdasarkan Surat Keputusan Walikota Samarinda tanggal 20 Januari 2005 No.545/023/HUK- KS/2005, seluas 120.10 Ha (Hektar). Pemegang Kuasa Pertambangan Ekploitasi Batubara (KW KTN 2004 002 Ex), berdasarkan Surat Keputusan Walikota No.540/02/KP- Ex/DPE-IV/ I/04 , seluas 58,77 Ha (Hektar ).

Di tanggal 30 Agustus 2008, antara Penggugat dan Tergugat (PT. Nusantara Rimbayu Coal) membuat dan menandatangani Perjanjian Kerjasama dibidang batubara, yang dibuat dan ditandatangani oleh masing masing Direktur Utama yang bertindak untuk dan atas nama masing-masing badan dihadapan Henny Rugian, Sarjana Hukum, Notaris di Surabaya. Kemudian tanggal 30 Agustus 2005 dibuatlah kuasa dari Penggugat kepada Tergugat untuk memenuhi pemenuhan Perjanjian Kerjasama mereka yang merupakan perjanjian ikutan. Kuasa ini dibuat dan ditandatangani oleh keduanya di hadapan Henny Rugian, Notaris di Surabaya. Kuasa ini mengatur mengenai kompensasi (pasal 2), hak dan kewajiban (pasal3), sanksi-sanksi (pasal 4), jangk waktu kerjasama (pasal 5), perselisihan (pasal 9).

Dalam pasal 3, PT. Nusantara Rimbayu Coal berkewajiban mengeluarkan dana untuk proses produksi batubara di KP CV. Baratama Makmur dan membayar kompensasi dalam bentuk fee sebesar Rp 32.000,- /metrik ton yang pembayaran paling lambatnya 14 hari setelah pengapalan dan hasil survey dari Sucofindo di terima oleh PT. Nusantara Rimbayu Coal. Kuasa yang diberikan kepada PT. Nusantara Rimbayu Coal adalah untuk mengelola dan melakukan eksploitasi, pengolahan dan pemurnian pengangkutan dan penjualan baik lokal maupun ekspor, menentukan harga dan jadwal pengiriman serta menerima hasil penjualan atas hasil tambang batubara di lokasi KP CV. Baratama Makmur hingga deposit batubara yang ada habis atau sudah produktif lagi, dan kuasa-kuasa lain yang diperlukan untuk pelaksanaan Perjanjian ini akan dibuat secara terpisah.

Masalah yang terjadi adalah kompensasi yang telah diperjanjikan sama sekali tidak pernah dipenuhi oleh  PT. Nusantara Rimbayu Coal walaupun kewajibannya telah di laksanakan. Terlihat bahwaa PT. Nusantara Rimbayu Coal melakukan wanprestasi kepada CV. Baratama Makmur sehingga CV. Baratama membatalkan perjanjian kerjasama ini secara sepihak. Pembatalan sepihak oleh CV. Baratama Makmur diperbolehkan karena telah ditentukan dalam perjanjian sebelumnya, yang berarti Perjanjian Kerjasama antara keduanya menjadi berakhir karena adanya wanprestasi oleh salah satu pihak.

Dengan PT. Nusantara Rimbayu Coal tidak melaksanakan ketentuan yang ada dan diatur dalam Pasal 2 huruf a Perjanjian Kerjasama Akta untuk memberikan kompensasi sebesar Rp 32.000/Mt kepada CV .Baratama Makmur yang dihitung dari sejak beroperasinya tambang batubara tersebut sampai dengan gugatan I didaftarkan ;

Bahwa karena Perjanjian telah batal dan berakhir dengan sendirinya , maka secara otomatis Kuasa, yang pernah diberikan oleh Penggugat kepada Tergugat menjadi tidak berlaku lagi (tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat), karena Kuasa merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Perjanjian Kerjasama tersebut. Dan sebagai akibat perbuatan cidera janji (wanprestasi) yang di lakukan oleh PT. Nusantara Rimbayu Coal, tentu saja secara materil CV. Baratama Makmur merasa telah sangat dirugikan oleh perbuatan Tergugat tersebut, sehingga CV. Baratama menuntut PT. Nusantara Rimbayu Coal melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri Surabaya, hal ini berdasarkan pilihan domisili hukum yang pernah disepakati bersama oleh Penggugat dan Tergugat selaku para pihak pada saat membuat dan menanda- tangani Akta Perjanjian Kerjasama, yaitu sebagaimana diatur didalam Pasal 9, mengenai Perselisihan.

Kerugian materiil yang diderita oleh Penggugat sebagai akibat cidera janji (wanprestasi) yang di lakukan oleh Tergugat adalah belum (tidak) di terimanya kompensasi yang telah disepakati dan diperjanjikan bersama dalam bentuk fee yang dihitung berdasarkan jumlah batubara di atas ponton berdasarkan hasil survey Sucofindo Geoserv ice Casana, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf a Akta No. 8 Perjanjian bila dihitung sejak saat "KP Baratama Makmur" tersebut beroperasi sampai dengan tanggal 31 Maret 2008, (berdasarkan Surat yang pernah dibuat oleh Tergugat tanggal 16 April 2008, yang ditujukan kepada Penggugat) adalah sebesar : Rp 32.000. - x 16.027,66 MT = Rp 512.885.120.

CV. Baratama Makmur memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini berkenan meletakkan sita jaminan terlebih dahulu (conservatoir beslaag) terhadap harta kekayaan milik PT. Nusantara Rimbayu Coal yaitu berupa tanah dan bangunan (kantor tergugat) yang terletak di Jalan Klampis Indah III/10 (Blok C-4) , Surabaya, beserta seluruh isi yang ada di dalam bangunan kantor Tergugat tersebut. Ini dilakukan untuk mencegah PT. Nusantara Rimbayu Coal mengalihkan seluruh kekayaan yang dimiliki kepada pihak lain.

CV. Baratama juga memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar berkenan untuk menerapkan sanksi berupa denda kepada Tergugat, yaitu sebesar Rp 1.000.000. - (satu juta rupiah ) per hari , setiap kali Tergugat lalai melaksanakan isi Putusan dalam perkara ini , dari sejak putusan ini dibacakan sampai dengan Tergugat mau secara sukarela melaksanakan isi putusan dalam perkara ini , secara tunai dan sekaligus.

PT. Nusantara Rimbayu Coal (tergugat) mengajukan gugatan balik yang berisi hal – hal yang menguatkan dalil – dalil Tergugat bahwa yang bersangkutan merasa dirinya tidak melakukan wanprestasi, justru CV. Baratama Makmur yang melakukan wanprestasi, serta memohon kepada hakim untuk meletakkan sita jaminan kekayaan CV. Baratama Makmur.
Perkara ini dibawa hingga tahap kasasi yang pada akhirnya dinyatakan permohonan kasasi dari CV. Baratama Makmur  dikabulkan. Selanjutnya akan dibahas pada bagian Historical Procedure.


II.          PROCEDURAL HISTORY
Procedural history adalah salinan atas apa yang terjadi dalam persidangan secara procedural dari adanya perkara sampai saat ini. Yang dibahas dalam bagian procedural history adalah tanggal pengajuan kasus, ringkasan putusan, putusan pengadilan, persidangan, dan vonis. Sehingga dalam bagian ini kita dapat melihat apa yang ditetapkan oleh hakim pada setiap tingkatan pengadilan. Dikaitkan dengan kasus, antara CV. Baratama Makmur dengan PT. Nusantara Rimbayu Coal telah sampai tingkat kasasi. Namun harus diketahui apa yang diputus oleh hakim pada setiap tingkatan baik Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan yang terakhir yaitu Mahkamah Agung untuk kasasi.

v  Pengadilan Negeri Surabaya :
Putusan 484/Pdt.G/2008/PN.Sby ditetapkan pada tanggal 19 Februari 2009. Dimana pada putusan ini ditetapkan bahwa provisi penggugat ditolak. Eksepsi tergugat ditolak. Dan Konvensi penggugat ditolak untuk seluruhnya. Namun dibagian Rekovensi gugatan penggugat Rekovensi dikabulkan sebagian, yang menyatakan bahwa akta No.8 tanggal 30 Agustus 2005 tentang Perjanjian Kerjasama PT. Nusantara Rimbayu Coal dengan CV. Baratama Makmur berikut Akta No.9 tanggal 30 Agustus 2005 sah dan mengikat, kemudian dinyatakan Tergugat Rekovensi telah wanprestasi, menghukum Tergugat Rekovensi melaksanakan dan menaati akta no.8 dan akta no.9, dan selebihnya gugatan Penggugat Rekovensi ditolak.
v  Pengadilan Tinggi Surabaya:
Bahwa pada tingkat banding putusan dari Pengadilan Negeri Surabaya dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya dengan putusan No. 356/PDT/2009/PT.SBY., tanggal 24 Agustus 2009.

v  Mahkamah Agung :
Dimana Pihak PT. Nusantara Rimbayu Coal mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung karena tidak puas dengan putusan yang telah ada. Pada tingkat kasasi permohonan Pemohon Kasasi dikabulkan sehingga putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No. 356/PDT/2009/PT.SBY dibatalkan dan menguatkan putusan PN Surabaya No.484/Pdt.G/2008/PN.Sby. Provisi dari Tergugat ditolak dan. Eksepsi Tergugat di tolak. Sedangkan Konvensi dari Penggugat dikabulkan untuk sebagian yaitu bahwa tergugat telah wanprestasi, sah sita jaminan yang diletakkan oleh Kepaniteraan PN Surabaya terhadap harta kekayaan milik tergugat, dan menghukum Tergugat untuk membayar seluruh kerugian yang diderita oleh Penggugat sebesar Rp 512.885.120. Kemudian dalam Rekovensi, Gugatan Penggugat dikabulkan yang tertulis bahwa Akta No.8 dan 9 sah dan mengikat, Tergugat Rekovensi telah wanprestasi, Tergugat Rekovensi melaksanakan dan menaati Akta No.8 dan No.9,  menolak gugatan Rekovensi untuk selain dan selebihnya, dan menghukum Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam Rekovensi untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar Rp500.000,-.

III.       ISSUE
Isu yang dipermasalahkan terjadi saat kompensasi berupa fee yang telah diperjanjikan sama sekali tidak pernah dipenuhi oleh  PT. Nusantara Rimbayu Coal walaupun kewajibannya telah di laksanakan. Jelas bahwa ini adalah perbuatan wanprestasi PT. Nusantara Rimbayu Coal kepada CV. Baratama Makmur. Akibatnya CV. Baratama membatalkan perjanjian kerjasama ini secara sepihak. Pembatalan sepihak oleh CV. Baratama Makmur diperbolehkan karena telah ditentukan dalam perjanjian sebelumnya, yang berarti Perjanjian Kerjasama antara keduanya menjadi berakhir karena adanya wanprestasi oleh salah satu pihak.

PT. Nusantara Rimbayu Coal tidak melaksanakan ketentuan yang ada dan diatur dalam Pasal 2 huruf a Perjanjian Kerjasama Akta untuk memberikan kompensasi sebesar Rp 32.000/Mt kepada CV. Baratama Makmur yang dihitung dari sejak beroperasinya tambang batubara tersebut sampai dengan gugatan I didaftarkan. Sehingga kerugian materiil yang diderita oleh Penggugat sebagai akibat cidera janji (wanprestasi) karena belum (tidak) di terimanya kompensasi yang telah disepakati dan diperjanjikan bersama dalam bentuk fee sebesar : Rp 32.000. - x 16.027,66 MT = Rp 512.885.120 (dihitung berdasarkan jumlah batubara di atas ponton berdasarkan hasil survey Sucofindo Geoserv ice Casana) bila  dihitung sejak saat "KP Baratama Makmur" tersebut beroperasi sampai dengan tanggal 31 Maret 2008, (berdasarkan Surat yang pernah dibuat oleh Tergugat tanggal 16 April 2008, yang ditujukan kepada Penggugat).

Karena terjadi masalah wanprestasi tersebut, Perjanjian Kerjasama maupun Perjanjian Ikutannya yaitu Kuasa telah batal dan berakhir dengan sendirinya artinya tidak berlaku lagi (tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Dan sebagai akibat perbuatan cidera janji (wanprestasi) yang di lakukan oleh PT. Nusantara Rimbayu Coal, tentu saja secara materil CV. Baratama Makmur merasa telah sangat dirugikan oleh perbuatan PT. Nusantara Rimbayu Coal tersebut, hingga CV. Baratama menuntut ganti rugi kepada PT. Nusantara Rimbayu Coal melalui Kepaniteraan Pengadilan Negeri Surabaya, yaitu domisili hukum yang pernah disepakati bersama oleh Penggugat dan Tergugat selaku para pihak pada saat membuat dan menanda- tangani Akta Perjanjian Kerjasama, yaitu sebagaimana diatur didalam Pasal 9, mengenai Perselisihan.

Disini sudah terlihat jelas bahwa apa yang dilakukan oleh PT. Nusantara Rimbayu Coal adalah sebuah perbuatan wanprestasi dimana ini diatur dalam KUHPerdata. PT. Nusantara Rimbayu Coal menyebabkan kerugian maka PT tersebut harus bertanggung jawab terhadap apa yang telah terjadi yaitu dengan membayar kerugian yang diderita oleh CV. Baratama Makmur.
Pihak PT. Nusantara Rimbayu Coal mengajukan gugatan balik atas hal ini, dimana beberapa dalilnya menyatakan bahwa CV. Baratama makmur lah yang melakukan wanprestasi karena tidak melaksanakan kewajibannya yaitu tidak melakukan pengurusan dan/atau pembiayaan sehingga PT. Nusantara Rimbayu Coal mengeluarkan biaya sejumah Rp 212.134.000, dan dengan ini PT. Nusantara Rimbayu Coal berhak mengkompensasikan jumlah tersebut sebagai pembayaran kompensasi kepada CV. Baratama Makmur.

Gugatan balik yang diajukan oleh PT. Nusantara Rimbayu Coal kepada CV. Baratama Makmur ini bila dihubungkan dengan CV (Persekutuan Komanditer) yaitu, di dalam sebuah CV terdapat dua jenis sekutu, yaitu sekutu komplementer dan komanditer. Untuk permasalahan gugatan ganti rugi dalam perkara ini hanya dapat dipertanggung jawabkan oleh sekutu komplementer karena sekutu komplementerlah yang melakukan pengurusan dan lain lain, sedang sekutu komanditer hanya sekutu pemberi modal dalam CV. Baratama Makmur. Untuk lebih jelasnya akan dijelaskan lebih rinci mengenai CV di paragraph berikutnya.

CV adalah persekutuan yang didirikan oleh satu/beberapa orang dimana terdapat 2 jenis sekutu dalam persekutuan ini yaitu sekutu komanditer dan sekutu komplementer (diatur dalam Pasal 19 – 21 KUHD). Sekutu komplementer (sekutu aktif) bertindak sebagai pengurus, sedangkan sekutu komanditer (sekutu pasif) adalah sekutu yang hanya menyerahkan uang, barang atau tenaga sebagai pemasukan dalam persekutuan dan dia tidak berhak/tidak ikut campur dalam pengurusan. Namun, kedua sekutu ini tetap memberikan pemasukan atau inbreng kepada CV.
Mengenai hubungan intern antar sekutu dalam CV adalah hubungan antara sekutu komplementer dan sekutu komanditer (diatur dalam bagian II Bab VIII Buku III Pasal 1624-1641 KUHPerdata). Sementara hubungan ekstern (CV dengan pihak ketiga) pada dasarnya semua sekutu komplementer berwenang mewakili CV, kecuali jika sudah ditentukan sekutu komplementer mana saja yang diangkay sebagai pengurus, sedang sekutu komanditer tidak berwenang. Mengenai pertanggungjawaban diserahkan sepenuhnya kepada sekutu komplementer. Sekutu komanditer hanya dapat ditarik untuk bertanggung jawab apabila sekutu komanditer tersebut ikut dalam melakukan pengurusan. Dan untuk pembagian laba rugi dalam CV dapat diperjanjikan dalam sebuah perjanjian antara para sekutu. Namun apabila tidak ada perjanjian maka akan dibagi secara proporsional berdasarkan kontribusi masing-masing (Pasal 1633 KUHPerdata).

Jadi, dalam penjelasan diatas jelaslah bahwa apabila gugatan balik dari PT. Nusantara Rimbayu Coal kepada CV. Baratama Makmur dikabulkan oleh para Majelis Hakim, maka dalam CV. Baratama Makmur yang bertanggung jawab adalah sekutu komplementernya. Karena hak dan tanggung jawab atas kepengurusan CV diserahkan sepenuhnya kepada sekutu komplementer. Lain halnya bila perkara terjadi karena tindakan dari sekutu komanditer yang sebenarnya tidak bertanggung jawab terhadap pengurusan maka sekutu komanditer yang bersangkutan dapat dimintakan pertanggungjawaban.

Dalam hal CV. Baratama makmur membayar klaim ganti rugi yang dituntut oleh PT. Nusantara  Rimbayu Coal maka pengaturan pembagian kerugian ditentukan berdasarkan perjanjian yang dibuat oleh para sekutu dalam CV tersebut. Bila tidak diperjanjikan sebelumnya, maka akan digunakan Pasal 1633 KUHPerdata. Dimana pembagian berdasarkan kontribusi masing – masing dari para pihak. Sekutu yang menanggung kerugian adalah sekutu komplementer. Sekutu komanditer tidak berhak untuk menanggung apapun karena memang Ia tidak berwenang melakukan pengurusan, selama hal yang terjadi bukan merupakan kesalahan sekutu komanditer tersebut.

IV.       HOLDING
Dalam holding, yang akan dibicarakan adalah mengenai putusan hakim yang terakhir. Putusan hakim yang terakhir berarti berasal dari hakim Mahkamah Agung. Hakim Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi yaitu pihak PT. Nusantara Rimbayu Coal sehingga diputuskan bahwa putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No. 356/PDT/2009/PT.SBY dibatalkan dan menguatkan putusan PN Surabaya No.484/Pdt.G/2008/PN.Sby. Provisi dari Tergugat ditolak dan. Eksepsi Tergugat di tolak. Sedangkan Konvensi dari Penggugat dikabulkan untuk sebagian yaitu bahwa tergugat telah wanprestasi, sah sita jaminan yang diletakkan oleh Kepaniteraan PN Surabaya terhadap harta kekayaan milik tergugat, dan menghukum Tergugat untuk membayar seluruh kerugian yang diderita oleh Penggugat sebesar Rp 512.885.120. Kemudian dalam Rekovensi, Gugatan Penggugat dikabulkan yang tertulis bahwa Akta No.8 dan 9 sah dan mengikat, Tergugat Rekovensi telah wanprestasi, Tergugat Rekovensi melaksanakan dan menaati Akta No.8 dan 9,  menolak gugatan Rekovensi untuk selain dan selebihnya, dan menghukum Tergugat dalam Konvensi/Penggugat dalam Rekovensi untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ditetapkan sebesar Rp500.000,-.

V.          REASONING
Dalam bagian Reasoning akan dikemukakan mengenai alasan mengapa Hakim menjatuhkan dan menerapkan hukum dalam putusan tertentu kepada para pihak yang berperkara.  Pada perkara tersebut Hakim mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi (penggugat), menolak tuntutan Provisi dari Penggugat, menolak eksepsi dari Tergugat, Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian di dalam Konvensi, dan mengabulkan gugatan Penggugat dalam Rekonvensi untuk sebagian.

Tuntutan dari Pemohon Kasasi:
-          Pemohon Kasasi/Penggugat dalam memori kasasinya menuntut hingga tahap kasasi karena menilai bahwa Judex Facti tingkat banding pertimbangan-pertimbangan hukumnya telah melakukan kekeliruan yang mana ternyata Penggugat/Pembanding telah mengajukan memori banding dimana memori banding tidak memuat hal - hal yang baru, karena Majelis Hakim Pengadilan Tinggi membenarkan dan menyetujui putusan Pengadilan Negeri Surabaya tanggal 19 Februari 2009 No. 484/Pdt.G/2008/PN.Sby yang dianggap materi pertimbangan hukum dan amar putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama dinilai telah tepat dan benar secara yuridis, karena itu dapat dipertahankan dan dikabulkan
-          Pemohon kasasi menuntut karena merasa bahwa Judex Facti tingkat banding telah salah dalam mempertimbangkan perkara a quo, karena Judex Facti sama sekali tidak memeriksa dan mengadili perkara dalam keseluruhannya, sebagaimana diatur di dalam Putusan Mahkamah Agung No.194 K/Sip/1975, tanggal 10 November 1976 sehingga tentu saja pertimbangan dan putusan yang diambil oleh Judex Facti sesungguhnya adalah putusan yang sifatnya menyalin saja isi Putusan Judex Facti tingkat pertama
-          Judex Facti tingkat banding sama sekali tidak memeriksa hal yang dimohonkan pemeriksaan banding oleh Pemohon Kasasi, yaitu Termohon Kasasi telah melakukan perbuatan wanprestasi kepada Pemohon Kasasi, yang mengakibatkan kerugian bagi Pemohon Kasasi, yang mana unsur wanprestasi telah terpenuhi. jelas bahwa kompensasi yang akan diterima oleh Pemohon Kasasi /Pembanding, sebagaimana diatur dalam Perjanjian Kerjasama Akta No.8, tangga l 30 Agustus 2005 dan Akta Kuasa No.9, tanggal 30 Agustus 2005, tidak dapat dilaksanakan oleh Termohon

Putusan Mahkamah Agung:
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi setelah menelaah perkara di pengadilan negeri dan pengadilan tinggi karena terdapat cukup alasan yang memang jelas bahwa Tergugat telah melakukan wanprestasi kepada Penggugat dan telah tidak membayar kompensasi berupa fee kepada Penggugat. Sehingga Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi Pemohon Kasasi (CV. Baratama Makmur) dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Surabaya No.356/PDT/2009/PT.SBY., tanggal 24 Agustus 2009, yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Surabaya No. 484/Pdt .G/2008 /PN.Sby., tanggal 19 Februari 2009.


VI.    DISSENTING / CONCURRING
Sebelum dijatuhkan suatu putusan kepada para pihak, para Majelis Hakim melakukan rapat permusyawaratan Majelis Hakim terlebih dahulu yang mana hal tersebut tercantum di dalam surat putusan pengadilan. Setelah dilakukan rapat permusyawaratan, para Majelis Hakim tentunya sudah memiliki keputusan. Keputusannya dari para Majelis Hakim bisa berupa dissenting opinion atau concurring opinion.

Bagian Dissenting (dissenting opinion) adalah pendapat yang dikemukakan oleh satu/lebih hakim dalam perkara hukum yang menyatakan ketidaksetujuan mengenai suatu putusan. Penyebab ketidaksetujuan hakim dapat disebabkan oleh beberapa hal, misalnya dapat berupa perbedaan interpretasi antara para hakim, perbedaan prinsip yang digunakan oleh para hakim, atau perbedaan interpretasi mengenai fakta-fakta yang terjadi dalam suatu kasus.

Concurring (concurring opinion) merupakan pendapat yang dikemukakan oleh para Majelis Hakim dalam perkara hukum yang menyatakan kesetujuannya mengenai suatu putusan pengadilan namun juga disertai alasan sebagai dasar persetujuannya. Concurring opinion ada beberapa jenis, salah satunya adalah jenis concurring opinion yang timbul adalah ketika ada seorang hakim yang setuju dengan putusan pengadilan yang dijatuhkan namun juga memiliki tambahan-tambahan pendapat. di dalamnya. Jenis concurring opinion yang lain adalah hakim setuju dengan pendapat hakim lain mengenai suatu putusan pengadilan. Tapi tidak setuju dengan alasan yang dikemukakan sebagai dasar putusan tersebut.

Dalam perkara CV. Baratama Makmur dengan PT. Nusantara Rimbayu Coal, Majelis Hakim telah melakukan rapat permusyawaratan terlebih dahulu seminggu sebelum dijatuhkan putusan pengadilan, yaitu pada hari Jumat 18 Februari 2011.  Kemudian putusan dijatuhkan dan ucapkan dalam sidang terbuka utuk umum pada tanggal 22 Februari 2011 oleh Ketua Majelis Hakim. para Majelis Hakim dalam putusan tidak memiliki perbedaan pendapat dalam memeriksa dan memutus perkara ini. Hakim-hakim dalam perkara yang telah berada dalam tingkat kasasi terdiri dari Ketua Majelis Hakim serta Anggota Majelis Hakim yang mana semuanya merupakan Hakim-Hakim Agung. Ketua Majelis Hakim maupun para Anggotanya telah bersepakat untuk menjatuhkan suatu putusan kepada para pihak yang bersengketa sehingga disimpulkan tidak adanya perbedaan interprestasi diantara mereka sehingga putusan ini adalah termasuk yang concurring opinion. Dimana semua hakim yang menyelesaikan perkara ini semua mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi (penggugat), menolak tuntutan Provisi dari Penggugat, menolak eksepsi dari Tergugat, Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian di dalam Konvensi, dan mengabulkan gugatan Penggugat dalam Rekonvensi untuk sebagian.