Apr 23, 2013

Bagian Warisan Ahli Waris yang Statusnya Diragukan


BAB I
PENDAHULUAN

A. Hukum Kewarisan Pra Islam
Hukum Kewarisan Pra Islam disebut zaman jahiliah, yaitu zaman yang penuh kegelapan dan ketidakadilan, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, tidak mengenal harkat martabat manusia serta diskriminatif. Saat itu, seorang perempuan dan anak laki-laki yang masih kecil tidak berhak tampil sebagai ahli waris, yang berhak hanya laki-laki dewasa. Namun setelah Turunnya ayat (al-Qur’an surah an-Nisa ayat 7) yang terjadi karena peristiwa meninggalnya sahabat Rasul, yaitu Aws bin Shamit al-Ansyaari, terjadi perubahan di sistem hukum kewarisan.[1]
Gambar Kasus Aws bin Shamit
 Dia meninggalkan satu istri bernama Ummu Kahlah dan tiga anak perempuan. Semua harta peninggalan Aws diambil oleh dua orang saudara laki-laki sedatuknya (anak pamannya) yang bernama Suwaidun dan Arfathah. Untuk mencari keadilan, Ummu Kahlah menemui Rasul di masjid al-Fadhiih untuk mengadukan peristiwa tersebut; bahwa suaminya Aws bin Shamit telah meninggal dunia dan meninggalkan 3 orang anak perempuan yang tidak dapat di biayainya karena tidak ada hartanya. Seluruh harta peninggalan suaminya diambil oleh 2 orang saudara laki-laki sedatuknya. Kemudian Rasullulah memanggil kedua laki-laki itu dan menanyainya tentang pengaduan Ummu Kahlah tadi. Mereka menjawab “Benar ya Rasullulah, anak-anak itu tidak sanggup mengendarai kuda, tidak sanggup memanggul barang-barang, tidak sanggup memerangi musuh, kami yang berusaha atasnya, sedangkan perempuan itu tidak mengusahakan harta”. Kemudian turunlah ayat kewarisan yaitu Q.S.IV:7.[2]

Keterangan:
P          : Aws bin Shammit (pewaris)
1,2,3    : Anak-anak perempuan Aws
4          : Bapaknya Aws yang sudah meninggal
5          : Pamannya Aws yang sudah meninggal
6          : Kakeknya (datuk) Aws yang sudah meninggal
UK       : Istri Aws
A&S    : Saudara laki-laki sedatuk Aws
=
UK
1
2
3
4
5
6
S
A
  P
 






Dengan ini, tetaplah bahwa wanita-wanita yaitu anak perempuan dari istri Aws bin Shamit berhak mendapat bagian warisan. Namun, pada waktu itu belum ditentukan berapa besar jumlah bagiannya. Nabi Muhammad langsung berkata “Jangan kamu pisahkan sesuatupun dari harta Aws itu”, Allah SWT telah menjadikan bagi anak-anak perempuannya itu bagian dari warisannya, tetapi belum dijelaskan berapa jumlahnya.[3]
Kasus Aws ini membuat perubahan fundamental, baik dari segi harkat dan martabat maupun segi kedudukan wanita dalam sistem hukum kewarisan islam menjadi lebih baik. Q.S.IV:7 merupakan perubahan mendasar bagi ahli waris, yang isinya “ Bagi laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapak dan aqrabunnya (keluarga dekat). Dan bagi wanita ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapak dan aqrabunnya (keluarga dekat), ada yang mendapat sedikit ada yang mendapat banyakan bagian yang diwajibkan.” [4]

B.  Kedudukan Hukum Kewarisan Dalam Sistem Hukum Islam
Hukum Islam mengatur beberapa bidang, antara lain bidang hukum kekeluargaan yang meliputi hukum perkawinan dan hukum kewarisan. Bidang hukum kekeluargaan biasanya diatur dalam al-Qur’an surat an-Nisa (Q.S.IV). Setiap orang Islam yang akan melakukan perkawinan tentunya akan mematuhi aturan hukum perkawinan yang diatur dalam al-Qur’an. Adanya perkawinan akan membentuk suatu keluarga yang menimbulkan hak dan kewajiban bagi suami istri. Keluarga  merupakan unit terkecil yang memegang peranan sangat penting bagi masyarakat dimana mereka diikat dengan suatu akad nikah dengan tujuan membangun keluarga bahagia sesuai syariat Islam.[5] Mengenai hukum kewarisannya, siapa saja yang berhak dan berapa bagian setiap ahli waris serta bagaimana harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris semua diatur di al-Qur’an karena setiap orang pasti akan mengalami kematian dan menimbulkan peristiwa kewarisan sepanjang rukun kewarisannya dipenuhi. Kewarisan juga menyangkut harta benda yang bila tidak diberikan ketentuan akan mudah menimbulkan sengketa antara para ahli waris. Disimpulkan hukum kewarisan punya kedudukan yang sangat penting, bahkan para ulama menjadikan pembagian harta warisan menjadi satu cabang ilmu yang dinamakan ilmu faraidh.[6]

C. Hubungan Hukum Perkawinan Dengan Hukum Kewarisan
Salah satu prinsip di hukum perkawinan Islam adalah timbul hak kewarisan antara lain karena hubungan semenda yang menimbulkan hubungan kewarisan antara suami istri. Sebelum lahirnya hukum kewarisan Islam tidak dikenal karena menurut hukum adat, suami atau istri yang ditinggal mati istri tau suaminya tidak mendapat warisan. Dilihat teori Prof. Dr. Hazairin, S.H, mengenai larangan perkawinan yang terdapat dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 22,23,24 terutama di penghujung ayat 24 itu yang berbunyi[7]: “Wa uhilla lakum maa warooa dzalikum”. Yang artinya dihalalkan bagi kamu wanita-wanita selain yang telah disebutkan dalam larangan-larangan perkawinan. Disini dijelaskan bahwa semua wanita diluar larangan-larangan itu boleh atau halal dikawini oleh setiap laki-laki. Tetapi sepanjang mengenai perkawinan antara saudara sepupu yang cross cousin marriage maupun yang paralel cousin marriage dilarang. Larangan seperti ini hanya dijumpai dalam masyarakat yang patrilineal seperti di Tapanuli, di mana menurut adat masyarakat ini ada larangan mengawini saudara sepupu (larangan perkawinan endogami).Kalau bentuk masyarakat yang bilateral[8], maka secara otomatis sistem kewarisannyapun bilateral, oleh karena itu menurut Prof. Dr. Hazairin, S.H, sistem hukum kewarisan islam adalah bilateral individual.[9] Hal ini dijelaskan dalam:
1.      Q.S.IV : 11  Menjadikan semua laki-laki maupun perempuan menjadi ahli waris bagi orang tuanya. Demikian pula menjadikan ayah dan ibu menjadi ahli waris bagi anaknya.[10]
2.      Q.S.IV : 12 dan 176  Menjadikan Saudara ahli waris bagi saudaranya yang punah, tidak peduli apakah si mati itu laki-laki atau perempuan, demikian pula tidak peduli apakah saudaranya yang mewarisi itu laki-laki atau perempuan.[11]
3.      Q.S.IV : 7 dan 33  Mengandung prinsip-prinsip bagi sistem kewarisan yang individual, yaitu ada ahli waris yang masing-masing berhak atas suatu bagian yang pasti, dan bahwa bagian-bagian itu wajib diberikan pada mereka (nasiban mafrudan, faatuhum nasibahum).[12]
Bilateral artinya bahkan ahli waris dapat menarik garis keturunan baik melalui pihak laki-laki maupun pihak perempuan. Sedangkan Individual berarti bahwa bagian-bagian yang diperoleh oleh ahli waris dapat dimiliki secara individu.[13]
D. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam
1.   Asas ijbari (memaksa)
Secara etimologis, kata ijbari mengandung arti paksaan, yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri.[14] Dalam hal hukum waris berarti “terjadinya peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup dengan sendirinya, maksudnya tanpa ada perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari si pewaris, bahkan si pewaris (semasa hidupnya) tidak dapat menolak atau menghalangi-halangi terjadi peralihan tersebut.”[15] Perolehan harta dari orang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan otomatis menurut ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan pada kehendak pewaris atau ahli waris. Unsur paksaan terlihat dari segi ahli waris terpaksa menerima kenyataan perpidahan harta kepada dirinya sesuai yang telah ditentukan. Unsur Ijbari tidak akan memberatkan ahli waris, karena ahli waris hanya berhak menerima harta yang ditinggalkan dan tidak berkewajiban memikul utang yang ditinggalkan oleh pewaris. Kewajibannya hanya sekedar menolong membayarkan utang pewaris dengan harta yang ditinggalkan dan tidak berkewajiban melunasi utang itu dari hartanya ahli waris. Asas ijbari dalam hukum islam dapat dilihat dari beberapa segi:
a.       Segi cara peralihan harta mengandung arti bahwa harta orang mati itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan siapa-siapa kecuali oleh Allah SWT. Jadi pewaris tidak perlu menjanjikan sesuatu sebelum ia meninggal, begitu pula ahli waris tidak perlu meminta haknya.
b.      Segi jumlah berarti bahwa bagian atau hak ahli waris dalam harta warisan sudah jelas ditentukan oleh Allah SWT, sehingga pewaris atau ahli waris tidak mempunyai hak untuk menambah atau mengurangi apa yang telah ditentukan.
c.       Segi penerima peralihan harta itu berarti bahwa mereka yang berhak atas harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti, sehingga tidak ada suatu kekuasaan manusiapun dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau mengeluarkan orang yang berhak, sesuai dengan Firman Allah SWT dalam Q.S.IV : 11, 12, dan 176.
2.   Asas bilateral
Mengandung arti bahwa harta warisan beralih melalui 2 arah, maksudnya adalah setiap orang menerima hak kewarisan dari ke dua belah pihak yaitu pihak garis keturunan laki-laki dan pihak garis keturunan perempuan. Dapat dilihat dalam Firman Allah SWT surat al-Nisa ayat 7, 11, 12 dan 176. Dari keempat ayat tersebut terlihat jelas bahwa kewarisan itu beralih kebawah (anak-anak), ke atas (ayah dan ibu), dan ke samping (saudara-saudara) dari kedua belah pihak garis keluarga yaitu laki-laki dan perempuan dan menerima warisan dari dua garis keluarga yaitu garis laki-laki- dan garis perempuan.
3.   Asas Individual
Harta warisan dapat dibagi-bagi untuk dimiliki secara perseorangan. Masing-masing ahli waris berhak menerima bagiannya secara tersendiri tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Ini didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai kemampuan untuk menerima hak dan kewajiban, yang dalam istilah Usul Figh disebut “ahliyatu al wujub”.[16] Pembagian secara individual ini adalah ketentuan yang mengikat dan wajib dijalankan oleh setiap muslim dengan sanksi berat diakhirat bagi yang melanggarnya sebagaimana dinyatakan dalam Firman Allah SWT surat al-Nisa ayat 13 dan 14.
4.   Asas Keadilan berimbang
Keadilan dalam hukum kewarisan dapat diartikan sebagai keseimbangan antara hak dan kewajiban, keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya. Juga berarti keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya mendapat hak yang sama sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Jadi, bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap keluarganya.[17]
5.   Asas kematian
Peralihan harta seseorang kepada orang lain hanya berlaku setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia. Maksudnya adalah hukum kewarisan Islam hanya mengenal suatu bentuk kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata atau kewarisan abintestato (dalam BW) dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat atau kewarisan karena diangkat atau ditunjuk dengan surat wasiat yang dibuat pada waktu masih hidup atau yang disebut kewarisan secara testamen.[18]

E.  Faktor-Faktor Lahirnya Hukum Kewarisan Islam
Menurut Prof.Dr.H.T.Azhari, S.H, faktor-faktor yang melahirkan hak kewarisan Islam adalah:
1.   Faktor seiman
Antara pewaris dan ahli waros harus seiman, jika keduanya berbeda agama maka tidak akan menimbulkan hak kewarisan sesuai dengan hadits dari Abdullah bin Umar yang menyampaikan perkataan Rasullulah SAW bahwa “Tidak saling mewaris antara dua pemeluk agama yang berbeda”.[19]
2.   Faktor hubungan darah (geneologis)
Ini adalah factor yang dominan dalam hukum kewarisan Islam terutama menurut pandangan Syafi’I dan ahi-ahli fiqih, karena orang yang hubungan darahnya lebih dekat dengan pewaris akan menutup (menghijab) orang yang hubungan darahnya lebih jauh. Misalnya antara pewaris dengan anak, cucu, dan saudara.
3.   Faktor hubungan perkawinan / hubungan semenda
Seorang suami akan memperoleh warisan dari istrinya karena berdasarkan hubungan perkawinan demikian pula sebaliknya. Jadi, karena hubungan perkawinan akan menimbulkan hak kewarisan antara suami dan istri.










BAB II
BERLAKUNYA HUBUNGAN KEWARISAN

A. Sebab-sebab adanya kewarisan
Masalah kewarisan baru timbul apabila memenuhi rukun-rukunnya sebagai berikut:[20]
1.   Harus ada muwarrits
Yaitu orang meninggal dunia dan meninggalkan harta peninggalan. Syaratnya adalah bahwa muwarrits itu benar-benar telah meninggal dunia, baik meninggal secara hakiki (mati sejati yang dapat dibuktikan dengan panca indra / ilmu kedokteran) [21], hukmi (dianggap sudah meninggal sejak ada putusan pengadilan oleh hakim)[22], ataupun secara taqdiri (diduga kuat mati karena sesuatu sebab, seperti minum racun, dibunuh, bunuh diri atau terbunuh)[23].
2.   Harus ada al-waris atau ahli waris
Yaitu orang yang akan mewarisi harta warisan si mati karena memiliki dasar / sebab kewarisan seperti karena adanya hubungan darah (nasab) atau perkawinan dengan si mati.[24]
3.   Harus ada al-mauruts atau al-mirats
     Yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan      
     utang, dan pelaksanaan wasiat.
Ketiga unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan menjadi asas fundamental (rukun) terjadinya kewarisan. Jika salah satunya tidak ada, mengakibatkan tidak berlakunya suatu kewarisan.[25]

Adapun 3 syarat pewarisan, yaitu: [26]
1. Adanya orang yang meninggal dunia baik secara hakiki atau secara hukumnya.
2. Ahli Waris masih hidup secara jelas pada saat pewaris meninggal dunia. Maksudnya   
disini, ahli warisnya harus benar-benar hidup sesudah pewaris meninggal dunia.[27] Termasuk bayi dalam kandungan (al-haml). Meskipun masih berupa janin, bila dipastikan hidup, baginya berhak mendapat warisan. Perlu diketahui batasan yang tegas mengenai paling sedikit dan paling lama usia kandungan untuk mengetahui kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan.[28]
3. Mengetahui golongan ahli waris. Hubungan antara pewaris dengan ahli waris harus jelas,   apakah sebagai anak kandung, suami atau istri, saudara, dan sebagainya sehingga dapat ditentukan bagian masing-masing ahli waris.[29]

B. Penghalang Kewarisan
Dalam hukum kewarisan Islam seseorang dapat terhalang untuk menerima warisan atau menjadi ahli waris:[30]
1.   Karena berlainan agama. Artinya agama pewaris dengan ahli waris berbeda, ini didasarkan pada hadits Rasul, Rowahu Buchori dan Muslim.
2.   Karena pembunuhan. Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewaris menyebabkannya tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang diwarisinya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW, Riwayat Ahmad.
3.   Karena perbudakan. Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status kemanusiannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba sahaya (budak). Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk menerima warisan karena ia dianggap tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Selain itu juga sseorang budak dipandang tidak cakap menguasai harta benda dan status keluarganya terhadap kerabat-kerabatnya sudah putus, karena ia menjadi keluarga asing.[31] Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Nahl : 75. Namun pada masa sekarang perbudakan sudah dihapuskan.


BAB III
WARISAN AHLI WARIS YANG STATUS DIRAGUKAN / KASUS TERTENTU

Ahli waris yang statusnya diragukan, maksudnya adalah ahli waris yang pada saat harta warisan terbuka (pada saat pewaris meninggal dunia) status hukumnya sebagai “subjek hukum” atau “sebagai pendukung hak dan kewajiban masih diragukan. Ada beberapa kasus tertentu yang menimbulkan permasalahan terhadap persoalan kewarisan. Ahli waris yang statusnya diragukan serta ahli waris dalam kasus-kasus terntentu adalah sebagai berikut:[32]
1.      Anak yang masih dalam kandungan
2.       Orang yang hilang (mafqud)
3.      Orang yang mati serentak
4.      Orang yang tertawan (asir)
5.      Khuntsa
6.      Zawul Al-arham

1.   Warisan Anak Dalam Kandungan
Dalam syarat-syarat kewarisan dijelaskan bahwa seseorang yang dapat menjadi ahli waris haruslah seseorang yang pada saat si pewaris meninggal dunia jelas hidupnya. Ini membuat persoalan terhadap hak mewarisi bagi seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya, karena belum dapat dipastikan/masih kabur apakah anak yang masih dalam kandungan tersebut saat dilahirkan nantinya dalam keadaan hidup atau tidak. Belum dapat dipastikan juga apakah anak yang masih dalam kandungan tersebut berjenis kelamin perempuan atau laki-laki yang mana sangat penting artinya dalam pembagian harta warisan, termasuk berapa porsi / bagiannya. Namun persoalan ini dapat diatasi dengan cara pembagian sementara dan sesudah anak dalam kandungan itu lahir barulah diadakan pembagian yang sebenarnya.
Kewarisan anak yang masih dalam kandungan ini harus dipenuhi dua syarat:[33]
1.      Dapat diyakini bahwa anak itu telah ada dalam kandungan ibunya, pada saat si pewaris meninggal dunia.
2.      Bayi yang ada dalam kandungan tersebut dilahirkan dalam keadaan hidup, sebab hanya orang (ahli waris) yang hidup (pada saat kematian si pewaris) yang berhak mendapatkan harta warisan.
Menyangkut kemungkinan pendapatan/bagian anak yang masih dalam kandungan ibunya ada beberapa kemungkinan, yaitu:[34]
1.      Tidak menerima warisan sama sekali, baik ia sebagai laki-laki atau perempuan.
Misalnya: Seorang suami meninggal dunia meninggalkan istri, ayah, dan seorang ibu yang sedang hamil (anak dari suaminya yang kedua). Dalam hal seperti ini, anak yang masih dalam kandungan ibunya tersebut tidak perlu dihiraukan, sebab kalaupun dia ahli waris (baik laki-laki atau perempuan) keberadaannya sebagai ahli waris terhalang oleh ayah si mayat.
2.      Hanya mewarisi dengan salah satu atau dua kemungkinan, yaitu sebagai laki-laki atau perempuan, dan tidak mewarisi dengan kemungkinan yang lainnya.
Misalnya: Seorang laki-laki meninggal dunia, dan meninggalkan istri, saudara bapak kandung (paman) dan seorang istri dari saudara kandung yang sedang hamil. Bila kondisi seperti ini, maka bagian istri diberi bagian ¼, sedangkan sisanya ¼ ditangguhkan pembagiannya sampai bayi tersebut lahir. Bila bayi tersebut laki-laki akan mendapatkan bagian dari harta warisan tersebut dan ia lebih utama menghalang paman, bila perempuan maka pamanlah yang berhak, sebab anak perempuan dari saudara laki-laki kandung bukanlah ahli waris.
3.      Dapat mewarisi dengan segala kemungkinan, baik ia sebagai laki-laki atau sebagai perempuan.
Misalnya: Seorang laki-laki meninggal dunia, dan meninggalkan istri yang sedang hamil, ayah dan ibu.
4.      Dapat mewarisi, dan tidak pula berbeda jumlah bagiannya, baik ia sebagai laki-laki atau perempuan.
Misalnya: Seseorang mati meninggalkan seorang saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah, dan seorang ibu yang sedang hamil dari suami yang bukan ayah si meninggal, kalau ia lahir statusnya hanya sebagai saudara seibu, apabila saudara seibu, bagian laki-laki dan perempuan sama besarnya.
5.      Tidak bersama dengan ahli waris yang pokok, atau bersama dengan ahli waris yang terhalang olehnya.
Misalnya: Seorang laki-laki meninggal dunia dan meninggalkan menantu (istri dari anaknya) yang sedang hamil dan saudara seibu. Dalam hal ini, pembagian harta warisan harus ditangguhkan sampai anak yang dalam kandungan tersebut dilahirkan.

B.  Warisan Orang yang Hilang
Orang yang hilang dalam istilah bahasa Arab adalah “Mafqud”, yaitu orang yang tidak diketahui kabar beritanya, dalam hal ini termasuk tempat tinggal dan keadaannya apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia. Para ahli hukum Islam menetapkan mengenai status hukum orang yang hilang:
1.      Istri orang yang hilang tidak boleh dikawinkan
2.      Harta orang yang hilang tidak boleh diwariskan
3.      Hak-hak orang yang hilang tidak boleh dibelanjakan atau dialihkan.
Ketidakbolehan ketiga hal diatas sampai orang yang hilang tersebut sudah jelas statusnya. Bila masih diragukan maka statusnya harus dianggap masih hidup sesuai dengan keadaan semula. Dan yang berhak untuk menentukan seseorang yang hilang sudah meninggal hanyalah hakim.
Mengenai tenggang waktu untuk menentukan seseorang yang hilang masih dalam keadaan hidup atau sudah mati masih belum ada persesuaian pendapat dari para ahli hukum, yang akhirnya melahirkan beberapa pendapat:[35]
1.      Seseorang yang hilang dianggap sudah meninggal dunia apabila teman-teman sebayanya yang ada di tempat itu sudah meninggal (pendapat yang dipegang oleh ulama Hanafiyah), sedangkan bila diukur dengan jangka waktu Imam Abu Hanifah mengemukakan harus terlewati 90 tahun. Pendapat ini sama dengan pendapat ulama Syafi’iyah, tetapi penetapan matinya seseorang hanya dapat dilakukan oleh keputusan lembaga pengadilan.
2.      Seseorang yang hilang dianggap sudah meninggal dunia apabila telah terlewati tenggan waktu 70 tahun. Pendapat ini didasarkan kepada hadis yang mana merupakan pendapat ulama Malikiyah. Sedangkan menurut riwayat Imam Maliki, bahwa bila ada laki-laki yang hilang di Negara Islam dan terputus beritanya, maka istrinya harus melapor kepada Hakim. Bila hakim tidak mampu untuk mendapatkannya, maka istrinya diberi waktu menunggu selama 4 tahun, setelah lewat dari itu istrinya beridah sebagaimana lazimnya seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya, dan setelah itu diperkenankan kawin dengan laki-laki lain.
3.      Orang hilang menurut situasi dan kebiasaannya ia akan binasa (seperti waktu peperangan, tenggelam waktu pelayaran atau pesawat udara jatuh dan temannya ada yang selamat), maka orang yang hilang tersebut harus diselidiki selama empat tahun, jika tidak ada kabar beritanya, maka hartanya sudah dapat dibagi (pendapat yang dipegang ulama-ulama Hanabilah). Sedangkan apabila kehilangan tersebut bukan disebabkan oleh peristiwa yang membawa kematian (seperti berdagang atau merantau), ulama hnabilah berbeda pendapat:
a.       Menunggu sampai 90 tahun sejak ia dilahirkan
b.      Diserahkan kepada ijtihad hakim.
Tentang kewarisan orang yang hilang hanya terdapat dua kemungkinan, yaitu:
1.      Apabila orang yang hilang tersebut menghijab atau menghalang ahli waris yang lainnya secara hijab hirman, maka pembagian harta warisan harus ditangguhkan sampai status hukum orang yang hilang tersebut pasti.
2.      Apabila tidak menghijab ahli waris yang ada, bahkan ia bersekutu untuk mewarisi bersama ahli waris yang tinggal, mana yang tidak terhalang pembagiannya dapat diberikan terlebih dahulu (secara sempurna), sedangkan jika bagiannya tidak sama andainya orang yang hilang tersebut dalam keadaan hidup atau mati, maka kepadanya diberikan bagian terkecil, sedangkan bagi ahli warisnya yang bagiannya tergantung kepada kematian orang yang hilang, maka bagiannya ditangguhkan.

C.Warisan Orang yang Mati Serentak
Sering terjadi peristiwa seperti bencana alam dan kecelakaan misalnya, dimana itu mengakibatkan beberapa orang mati secara serentak. Tidak jarang pula orang yang mati serenntak tersebut adalah orang yang saling waris-mewarisi, seperti dalam kecelakaan pesawat udara, yang mana seorang bapak meninggal dunia bersama dengan ankanya, dengan perkataan lain tidak diketahui sama sekali siapa diantara mereka yang meninggal dunia terlebih dahulu.
Dalam kasus mati serentak, para ahli hukum islam berpendapat bahwa diantara mereka tidak boleh saling waris-mewarisi. Alasannya disebabkan syarat-syarat bahwa pewaris dan ahli waris tidak terpenuhi (tidak jelas), dengan demikian harta warisan mereka hanya dapat diberikan kepada ahli waris mereka masing-masing yang masih hidup.
Contoh kasus: Dua orang bersaudara (B dan C) mengadakan perjalan dengan pesawat udara bersama dengan Bapaknya(A), kemudian pesawatnya mengalami kecelakaan. Dua orang bersaudara serta bapaknya meninggal dunia. B meninggalkan istri dan seorang anak perempuan. C meninggalkan dua orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki kandung.

Penyelesaian persoalan warisan A tidak sebagaimana lazimnya, yaitu bagian B menjadi warisan istri dan anak perempuannya (D dan E) dan seluruh bagian C menjadi bagian dari 2 orang anak perempuan serta seorang anak laki-lakinya (F,G, dan H). Dalam kasus ini, B dan C haruslah tidak dilihat atau dipandang sebagai ahli waris dari A, sebab antara A, B, dan C tidak diketahui siapa yang meninggal lebih dulu, sehingga tidak diketahui siapa yang menjadi ahli waris siapa. Jadi, yang menjadi ahli waris langsung dari A adalah E , F, G, H dengan kedudukan sebagai cucu laki-laki dan cucu perempuan, sedangkan D (istri B) bukan sebagai ahli waris.
Dengan demikian bagian laki-laki adalah 2 kali bagian perempuan, dan bagian masing-masing adalah sebagai berikut:
-          E memperoleh 1/5 bagian
-          F memperoleh 1/5 bagian
-          G memperoleh 1/5 bagian
-          H memperoleh 2/5 bagian

C.  Warisan Orang yang Tertawan ( Asir)
Orang yang tertawan adalah orang yang ditawan karena ditangkap atau kalah dalam suatu peperangan. Bila seseorang tawanan diketahui dengan jelas alamat atau domisili tempat penawanannya dan status hidup atau matinya jelas maka tidak akan menimbulkan persoalan terhadap masalah pewarisan. Yang menjadi persoalan apabila yang terjadi sebaliknya, dengan kata lain ketidakjelasan status tersebut (baik domisili, hidup dan matinya) akan menimbulkan persoalan. Kebanyakan ahli hukkum menganalogikan seseorang tawanan yang statusnya tidak diketahui dengan pasti, kepada orang yang hilang (mafqud) sebagaimana dibicarakan sebelumnya,baik dalam kedudukannya sebagai pewaris maupun sebagai ahli waris. Adapun yang menjadi illat hukumnya (dianalogikan kepada orang yang hilang) adalah terletak kepada sama-sama tidak diketahui kabar beritanya. Sehingga, peran hakim sangat menentukan untuk penyelesaian warisan orang yang dalam tawanan, tentunya setelah terlebih dahulu ditempuh upaya untuk mendapatkan informasi perihal orang yang tertawan.

D.    Warisan Khuntsa
Khuntsa adalah orang yang memiliki alat kelamin laki-laki dan perempuan secara seklaigus, atau tidak memiliki alat kelamin sama sekali. Dalamistilah hukum Islam disebut “Khuntsa Al-Musykil”, dalam istilah sehari-hari sering disebut “wadam” (Hawa-Adam), “waria” (wanita-pria).


[1] Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), hal.22
[2] Yati N. Soelistijono, S.H., C.N. dan Neng Djubaedah, S.H., M.H., Hukum Kewarisan Islam Indonesia, (Jakarta: Badan Penerbit FHUI, 2005), hal.1-2

[3] ibid
[4] Sajuti Thalib, op.cit, Hal.6
[5] Yati N. Soelistijono, S.H., C.N. dan Neng Djubaedah, S.H., M.H., op.cit, hal.3
[6] Ibid, hal. 4
[7] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut al-Quran dan Hadits, (Jakarta: Tirtamas, 1981), hal.13
[8] Ibid
[9] Ibid, hal.16
[10] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2004), hal. 20
[11] Hazairin, op.cit, hal.14
[12] Ibid, hal.16
[13] Yati N. Soelistijono, S.H., C.N. dan Neng Djubaedah, S.H., M.H., op.cit, hal.6
[14] Dr. Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1984), hal. 18
[15] Suhrawardi K.Lubis, S.H dan Komis Simanjuntak, S.H., Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis), (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal 35
[16] Abdul Wahab Kalaf, Usulu al Fiqhi, (Jakarta: Dewan Dakwah Islam Indonesia, 1974), hal. 136
[17] Muhammad Daud Ali, Hukum dan Peradilan Agama, (Jakarta: Grafindo Persada, 1997), hal.126
[18] Prof. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta: Intermasa, 1977), hal.78
[19] Moh.
Anwar, Faraidl Hukum Waris Dalam Islam dan Masalah-Masalahnya, (Surabaya: Al-ikhlas, 1981), hal 31
[20] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 22-23
[21] M. Idris Ramulyo, S.H., Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Ind Hill-co,1987), hal 51
[22] ibid
[23] M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalam Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hal. 16
[24] Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, (Semarang: Mujahidin, 1981), hal.11
[25] Yati N. Soelistijono, S.H., C.N. dan Neng Djubaedah, S.H., M.H., op.cit, hal.13-14C
[26] Syech Muhamad Ali Ash Shabuni, Hukum Waris Menurut Al-Quran dan Hadits, (Bandung, Trigenda Karya, 1995), hal.16
[27] A. Rahmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal.10
[28] Ahmad Rofiq, op.cit, hal. 123
[29] Yati N. Soelistijono, S.H., C.N. dan Neng Djubaedah, S.H., M.H., op.cit, hal.14-15
[30] Ahmad Rofiq, op.cit, hal. 24-31
[31] M. Idris Ramulyo, op.cit hal.55
[32] Suhrawardi K.Lubis, S.H. dan Komis Simanjutantak, S.H., op.cit hal 60
[33] Muhammad Ali as-Shabuni, Hukum Waris Dalam Syariat Islam, (Bandung: Diponegoro, 1988), hal.226-227
[34] Ibid, hal. 228-233
[35] Ibid, hal. 236-237

1 comment: