BAB
I
PENDAHULUAN
A. Hukum Kewarisan Pra Islam
Hukum Kewarisan Pra
Islam disebut zaman jahiliah, yaitu zaman yang penuh kegelapan dan
ketidakadilan, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan, tidak mengenal
harkat martabat manusia serta diskriminatif. Saat itu, seorang perempuan dan
anak laki-laki yang masih kecil tidak berhak tampil sebagai ahli waris, yang
berhak hanya laki-laki dewasa. Namun setelah Turunnya ayat (al-Qur’an surah
an-Nisa ayat 7) yang terjadi karena peristiwa meninggalnya sahabat Rasul, yaitu
Aws bin Shamit al-Ansyaari, terjadi perubahan di sistem hukum kewarisan.[1]
Gambar
Kasus Aws bin Shamit
|
Keterangan:
P : Aws bin Shammit (pewaris)
1,2,3 : Anak-anak perempuan Aws
4 : Bapaknya Aws yang sudah
meninggal
5 : Pamannya Aws yang sudah
meninggal
6 : Kakeknya (datuk) Aws yang sudah
meninggal
UK : Istri Aws
A&S : Saudara laki-laki sedatuk Aws
|
=
|
UK
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
S
|
A
|
P
|
Dengan ini, tetaplah bahwa
wanita-wanita yaitu anak perempuan dari istri Aws bin Shamit berhak mendapat
bagian warisan. Namun, pada waktu itu belum ditentukan berapa besar jumlah
bagiannya. Nabi Muhammad langsung berkata “Jangan kamu pisahkan sesuatupun dari
harta Aws itu”, Allah SWT telah menjadikan bagi anak-anak perempuannya itu
bagian dari warisannya, tetapi belum dijelaskan berapa jumlahnya.[3]
Kasus Aws ini membuat perubahan
fundamental, baik dari segi harkat dan martabat maupun segi kedudukan wanita
dalam sistem hukum kewarisan islam menjadi lebih baik. Q.S.IV:7 merupakan
perubahan mendasar bagi ahli waris, yang isinya “ Bagi laki-laki ada bagian
warisan dari harta peninggalan ibu bapak dan aqrabunnya (keluarga dekat). Dan
bagi wanita ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapak dan aqrabunnya
(keluarga dekat), ada yang mendapat sedikit ada yang mendapat banyakan bagian
yang diwajibkan.” [4]
B. Kedudukan Hukum Kewarisan Dalam
Sistem Hukum Islam
Hukum Islam mengatur
beberapa bidang, antara lain bidang hukum kekeluargaan yang meliputi hukum
perkawinan dan hukum kewarisan. Bidang hukum kekeluargaan biasanya diatur dalam
al-Qur’an surat an-Nisa (Q.S.IV). Setiap orang Islam yang akan melakukan
perkawinan tentunya akan mematuhi aturan hukum perkawinan yang diatur dalam al-Qur’an.
Adanya perkawinan akan membentuk suatu keluarga yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi suami istri. Keluarga
merupakan unit terkecil yang memegang peranan sangat penting bagi
masyarakat dimana mereka diikat dengan suatu akad nikah dengan tujuan membangun
keluarga bahagia sesuai syariat Islam.[5]
Mengenai hukum kewarisannya, siapa saja yang berhak dan berapa bagian setiap
ahli waris serta bagaimana harta peninggalan yang ditinggalkan oleh pewaris
semua diatur di al-Qur’an karena setiap orang pasti akan mengalami kematian dan
menimbulkan peristiwa kewarisan sepanjang rukun kewarisannya dipenuhi.
Kewarisan juga menyangkut harta benda yang bila tidak diberikan ketentuan akan
mudah menimbulkan sengketa antara para ahli waris. Disimpulkan hukum kewarisan
punya kedudukan yang sangat penting, bahkan para ulama menjadikan pembagian
harta warisan menjadi satu cabang ilmu yang dinamakan ilmu faraidh.[6]
C. Hubungan Hukum Perkawinan Dengan
Hukum Kewarisan
Salah satu prinsip di hukum
perkawinan Islam adalah timbul hak kewarisan antara lain karena hubungan
semenda yang menimbulkan hubungan kewarisan antara suami istri. Sebelum
lahirnya hukum kewarisan Islam tidak dikenal karena menurut hukum adat, suami
atau istri yang ditinggal mati istri tau suaminya tidak mendapat warisan.
Dilihat teori Prof. Dr. Hazairin, S.H, mengenai larangan perkawinan yang
terdapat dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 22,23,24 terutama di penghujung
ayat 24 itu yang berbunyi[7]: “Wa uhilla lakum maa warooa dzalikum”.
Yang artinya dihalalkan bagi kamu wanita-wanita selain yang telah disebutkan
dalam larangan-larangan perkawinan. Disini dijelaskan bahwa semua wanita diluar
larangan-larangan itu boleh atau halal dikawini oleh setiap laki-laki. Tetapi
sepanjang mengenai perkawinan antara saudara sepupu yang cross cousin marriage
maupun yang paralel cousin marriage dilarang. Larangan seperti ini hanya
dijumpai dalam masyarakat yang patrilineal seperti di Tapanuli, di mana menurut
adat masyarakat ini ada larangan mengawini saudara sepupu (larangan perkawinan
endogami).Kalau bentuk masyarakat yang bilateral[8],
maka secara otomatis sistem kewarisannyapun bilateral, oleh karena itu menurut
Prof. Dr. Hazairin, S.H, sistem hukum kewarisan islam adalah bilateral
individual.[9]
Hal ini dijelaskan dalam:
1. Q.S.IV
: 11 Menjadikan semua laki-laki maupun
perempuan menjadi ahli waris bagi orang tuanya. Demikian pula menjadikan ayah
dan ibu menjadi ahli waris bagi anaknya.[10]
2. Q.S.IV
: 12 dan 176 Menjadikan Saudara ahli
waris bagi saudaranya yang punah, tidak peduli apakah si mati itu laki-laki
atau perempuan, demikian pula tidak peduli apakah saudaranya yang mewarisi itu
laki-laki atau perempuan.[11]
3. Q.S.IV
: 7 dan 33 Mengandung prinsip-prinsip
bagi sistem kewarisan yang individual, yaitu ada ahli waris yang masing-masing
berhak atas suatu bagian yang pasti, dan bahwa bagian-bagian itu wajib
diberikan pada mereka (nasiban mafrudan, faatuhum nasibahum).[12]
Bilateral artinya bahkan ahli waris
dapat menarik garis keturunan baik melalui pihak laki-laki maupun pihak
perempuan. Sedangkan Individual berarti bahwa bagian-bagian yang diperoleh oleh
ahli waris dapat dimiliki secara individu.[13]
D. Asas-Asas Hukum Kewarisan Islam
1. Asas
ijbari (memaksa)
Secara etimologis, kata ijbari
mengandung arti paksaan, yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri.[14] Dalam
hal hukum waris berarti “terjadinya peralihan harta seseorang yang telah
meninggal dunia kepada yang masih hidup dengan sendirinya, maksudnya tanpa ada
perbuatan hukum atau pernyataan kehendak dari si pewaris, bahkan si pewaris
(semasa hidupnya) tidak dapat menolak atau menghalangi-halangi terjadi
peralihan tersebut.”[15] Perolehan
harta dari orang yang sudah meninggal kepada ahli warisnya berlaku dengan
otomatis menurut ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan pada kehendak pewaris
atau ahli waris. Unsur paksaan terlihat dari segi ahli waris terpaksa menerima
kenyataan perpidahan harta kepada dirinya sesuai yang telah ditentukan. Unsur
Ijbari tidak akan memberatkan ahli waris, karena ahli waris hanya berhak
menerima harta yang ditinggalkan dan tidak berkewajiban memikul utang yang
ditinggalkan oleh pewaris. Kewajibannya hanya sekedar menolong membayarkan
utang pewaris dengan harta yang ditinggalkan dan tidak berkewajiban melunasi
utang itu dari hartanya ahli waris. Asas ijbari dalam hukum islam dapat dilihat
dari beberapa segi:
a. Segi
cara peralihan harta mengandung arti bahwa harta orang mati itu beralih dengan
sendirinya, bukan dialihkan siapa-siapa kecuali oleh Allah SWT. Jadi pewaris
tidak perlu menjanjikan sesuatu sebelum ia meninggal, begitu pula ahli waris
tidak perlu meminta haknya.
b. Segi
jumlah berarti bahwa bagian atau hak ahli waris dalam harta warisan sudah jelas
ditentukan oleh Allah SWT, sehingga pewaris atau ahli waris tidak mempunyai hak
untuk menambah atau mengurangi apa yang telah ditentukan.
c. Segi
penerima peralihan harta itu berarti bahwa mereka yang berhak atas harta
peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti, sehingga tidak ada suatu
kekuasaan manusiapun dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang lain atau
mengeluarkan orang yang berhak, sesuai dengan Firman Allah SWT dalam Q.S.IV :
11, 12, dan 176.
2. Asas
bilateral
Mengandung arti bahwa harta warisan
beralih melalui 2 arah, maksudnya adalah setiap orang menerima hak kewarisan
dari ke dua belah pihak yaitu pihak garis keturunan laki-laki dan pihak garis
keturunan perempuan. Dapat dilihat dalam Firman Allah SWT surat al-Nisa ayat 7,
11, 12 dan 176. Dari keempat ayat tersebut terlihat jelas bahwa kewarisan itu
beralih kebawah (anak-anak), ke atas (ayah dan ibu), dan ke samping
(saudara-saudara) dari kedua belah pihak garis keluarga yaitu laki-laki dan
perempuan dan menerima warisan dari dua garis keluarga yaitu garis laki-laki-
dan garis perempuan.
3. Asas
Individual
Harta warisan dapat dibagi-bagi
untuk dimiliki secara perseorangan. Masing-masing ahli waris berhak menerima
bagiannya secara tersendiri tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Ini
didasarkan kepada ketentuan bahwa setiap insan sebagai pribadi mempunyai
kemampuan untuk menerima hak dan kewajiban, yang dalam istilah Usul Figh
disebut “ahliyatu al wujub”.[16] Pembagian
secara individual ini adalah ketentuan yang mengikat dan wajib dijalankan oleh
setiap muslim dengan sanksi berat diakhirat bagi yang melanggarnya sebagaimana
dinyatakan dalam Firman Allah SWT surat al-Nisa ayat 13 dan 14.
4. Asas
Keadilan berimbang
Keadilan dalam hukum kewarisan
dapat diartikan sebagai keseimbangan antara hak dan kewajiban, keseimbangan
antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya. Juga berarti
keseimbangan antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus
ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya mendapat hak yang sama
sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan
keluarga dan masyarakat. Jadi, bagian yang diterima oleh masing-masing ahli
waris berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap
keluarganya.[17]
5. Asas
kematian
Peralihan harta seseorang kepada
orang lain hanya berlaku setelah orang yang mempunyai harta meninggal dunia.
Maksudnya adalah hukum kewarisan Islam hanya mengenal suatu bentuk kewarisan
yaitu kewarisan akibat kematian semata atau kewarisan abintestato (dalam BW)
dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat atau kewarisan karena diangkat
atau ditunjuk dengan surat wasiat yang dibuat pada waktu masih hidup atau yang
disebut kewarisan secara testamen.[18]
E. Faktor-Faktor Lahirnya Hukum
Kewarisan Islam
Menurut Prof.Dr.H.T.Azhari,
S.H, faktor-faktor yang melahirkan hak kewarisan Islam adalah:
1. Faktor
seiman
Antara pewaris dan ahli waros harus
seiman, jika keduanya berbeda agama maka tidak akan menimbulkan hak kewarisan
sesuai dengan hadits dari Abdullah bin Umar yang menyampaikan perkataan
Rasullulah SAW bahwa “Tidak saling mewaris antara dua pemeluk agama yang
berbeda”.[19]
2. Faktor
hubungan darah (geneologis)
Ini adalah factor yang dominan
dalam hukum kewarisan Islam terutama menurut pandangan Syafi’I dan ahi-ahli
fiqih, karena orang yang hubungan darahnya lebih dekat dengan pewaris akan
menutup (menghijab) orang yang hubungan darahnya lebih jauh. Misalnya antara
pewaris dengan anak, cucu, dan saudara.
3. Faktor
hubungan perkawinan / hubungan semenda
Seorang suami akan memperoleh
warisan dari istrinya karena berdasarkan hubungan perkawinan demikian pula
sebaliknya. Jadi, karena hubungan perkawinan akan menimbulkan hak kewarisan
antara suami dan istri.
BAB
II
BERLAKUNYA
HUBUNGAN KEWARISAN
A. Sebab-sebab adanya kewarisan
Masalah kewarisan baru
timbul apabila memenuhi rukun-rukunnya sebagai berikut:[20]
1. Harus
ada muwarrits
Yaitu orang meninggal dunia dan
meninggalkan harta peninggalan. Syaratnya adalah bahwa muwarrits itu
benar-benar telah meninggal dunia, baik meninggal secara hakiki (mati sejati
yang dapat dibuktikan dengan panca indra / ilmu kedokteran) [21],
hukmi (dianggap sudah meninggal sejak ada putusan pengadilan oleh hakim)[22],
ataupun secara taqdiri (diduga kuat mati karena sesuatu sebab, seperti minum
racun, dibunuh, bunuh diri atau terbunuh)[23].
2. Harus
ada al-waris atau ahli waris
Yaitu
orang yang akan mewarisi harta warisan si mati karena memiliki dasar / sebab
kewarisan seperti karena adanya hubungan darah (nasab) atau perkawinan dengan
si mati.[24]
3. Harus
ada al-mauruts atau al-mirats
Yaitu harta peninggalan si mati setelah
dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan
utang,
dan pelaksanaan wasiat.
Ketiga
unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dan menjadi asas
fundamental (rukun) terjadinya kewarisan. Jika salah satunya tidak ada,
mengakibatkan tidak berlakunya suatu kewarisan.[25]
Adapun 3 syarat
pewarisan, yaitu: [26]
1. Adanya orang yang
meninggal dunia baik secara hakiki atau secara hukumnya.
2. Ahli Waris masih hidup secara
jelas pada saat pewaris meninggal dunia. Maksudnya
disini, ahli warisnya harus
benar-benar hidup sesudah pewaris meninggal dunia.[27]
Termasuk bayi dalam kandungan (al-haml). Meskipun masih berupa janin, bila
dipastikan hidup, baginya berhak mendapat warisan. Perlu diketahui batasan yang
tegas mengenai paling sedikit dan paling lama usia kandungan untuk mengetahui
kepada siapa janin tersebut akan dinasabkan.[28]
3. Mengetahui golongan ahli waris. Hubungan antara
pewaris dengan ahli waris harus jelas, apakah sebagai anak kandung, suami atau istri,
saudara, dan sebagainya sehingga dapat ditentukan bagian masing-masing ahli
waris.[29]
B.
Penghalang Kewarisan
Dalam
hukum kewarisan Islam seseorang dapat terhalang untuk menerima warisan atau
menjadi ahli waris:[30]
1. Karena
berlainan agama. Artinya agama pewaris dengan ahli waris berbeda, ini
didasarkan pada hadits Rasul, Rowahu Buchori dan Muslim.
2. Karena
pembunuhan. Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewaris
menyebabkannya tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang diwarisinya.
Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW, Riwayat Ahmad.
3. Karena
perbudakan. Perbudakan menjadi penghalang mewarisi, bukanlah karena status
kemanusiannya, tetapi semata-mata karena status formalnya sebagai hamba sahaya
(budak). Mayoritas ulama sepakat bahwa seorang budak terhalang untuk menerima
warisan karena ia dianggap tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Selain
itu juga sseorang budak dipandang tidak cakap menguasai harta benda dan status
keluarganya terhadap kerabat-kerabatnya sudah putus, karena ia menjadi keluarga
asing.[31]
Sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-Nahl : 75. Namun pada masa
sekarang perbudakan sudah dihapuskan.
BAB
III
WARISAN
AHLI WARIS YANG STATUS DIRAGUKAN / KASUS TERTENTU
Ahli
waris yang statusnya diragukan, maksudnya adalah ahli waris yang pada saat
harta warisan terbuka (pada saat pewaris meninggal dunia) status hukumnya
sebagai “subjek hukum” atau “sebagai pendukung hak dan kewajiban masih
diragukan. Ada beberapa kasus tertentu yang menimbulkan permasalahan terhadap
persoalan kewarisan. Ahli waris yang statusnya diragukan serta ahli waris dalam
kasus-kasus terntentu adalah sebagai berikut:[32]
1. Anak
yang masih dalam kandungan
2. Orang yang hilang (mafqud)
3. Orang
yang mati serentak
4. Orang
yang tertawan (asir)
5. Khuntsa
6. Zawul
Al-arham
1. Warisan
Anak Dalam Kandungan
Dalam syarat-syarat kewarisan dijelaskan bahwa
seseorang yang dapat menjadi ahli waris haruslah seseorang yang pada saat si
pewaris meninggal dunia jelas hidupnya. Ini membuat persoalan terhadap hak
mewarisi bagi seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya, karena belum
dapat dipastikan/masih kabur apakah anak yang masih dalam kandungan tersebut
saat dilahirkan nantinya dalam keadaan hidup atau tidak. Belum dapat dipastikan
juga apakah anak yang masih dalam kandungan tersebut berjenis kelamin perempuan
atau laki-laki yang mana sangat penting artinya dalam pembagian harta warisan,
termasuk berapa porsi / bagiannya. Namun persoalan ini dapat diatasi dengan
cara pembagian sementara dan sesudah anak dalam kandungan itu lahir barulah
diadakan pembagian yang sebenarnya.
Kewarisan anak yang masih dalam kandungan ini harus
dipenuhi dua syarat:[33]
1. Dapat
diyakini bahwa anak itu telah ada dalam kandungan ibunya, pada saat si pewaris
meninggal dunia.
2. Bayi
yang ada dalam kandungan tersebut dilahirkan dalam keadaan hidup, sebab hanya
orang (ahli waris) yang hidup (pada saat kematian si pewaris) yang berhak
mendapatkan harta warisan.
Menyangkut
kemungkinan pendapatan/bagian anak yang masih dalam kandungan ibunya ada
beberapa kemungkinan, yaitu:[34]
1. Tidak
menerima warisan sama sekali, baik ia sebagai laki-laki atau perempuan.
Misalnya: Seorang suami meninggal dunia meninggalkan
istri, ayah, dan seorang ibu yang sedang hamil (anak dari suaminya yang kedua).
Dalam hal seperti ini, anak yang masih dalam kandungan ibunya tersebut tidak
perlu dihiraukan, sebab kalaupun dia ahli waris (baik laki-laki atau perempuan)
keberadaannya sebagai ahli waris terhalang oleh ayah si mayat.
2. Hanya
mewarisi dengan salah satu atau dua kemungkinan, yaitu sebagai laki-laki atau
perempuan, dan tidak mewarisi dengan kemungkinan yang lainnya.
Misalnya: Seorang laki-laki meninggal dunia, dan
meninggalkan istri, saudara bapak kandung (paman) dan seorang istri dari
saudara kandung yang sedang hamil. Bila kondisi seperti ini, maka bagian istri
diberi bagian ¼, sedangkan sisanya ¼ ditangguhkan pembagiannya sampai bayi
tersebut lahir. Bila bayi tersebut laki-laki akan mendapatkan bagian dari harta
warisan tersebut dan ia lebih utama menghalang paman, bila perempuan maka
pamanlah yang berhak, sebab anak perempuan dari saudara laki-laki kandung
bukanlah ahli waris.
3. Dapat
mewarisi dengan segala kemungkinan, baik ia sebagai laki-laki atau sebagai
perempuan.
Misalnya: Seorang laki-laki meninggal dunia, dan
meninggalkan istri yang sedang hamil, ayah dan ibu.
4. Dapat
mewarisi, dan tidak pula berbeda jumlah bagiannya, baik ia sebagai laki-laki
atau perempuan.
Misalnya: Seseorang mati meninggalkan seorang
saudara perempuan kandung, saudara perempuan seayah, dan seorang ibu yang
sedang hamil dari suami yang bukan ayah si meninggal, kalau ia lahir statusnya
hanya sebagai saudara seibu, apabila saudara seibu, bagian laki-laki dan perempuan
sama besarnya.
5. Tidak
bersama dengan ahli waris yang pokok, atau bersama dengan ahli waris yang
terhalang olehnya.
Misalnya: Seorang laki-laki meninggal dunia dan
meninggalkan menantu (istri dari anaknya) yang sedang hamil dan saudara seibu.
Dalam hal ini, pembagian harta warisan harus ditangguhkan sampai anak yang
dalam kandungan tersebut dilahirkan.
B. Warisan
Orang yang Hilang
Orang yang hilang dalam istilah bahasa Arab adalah
“Mafqud”, yaitu orang yang tidak diketahui kabar beritanya, dalam hal ini termasuk
tempat tinggal dan keadaannya apakah masih hidup atau sudah meninggal dunia.
Para ahli hukum Islam menetapkan mengenai status hukum orang yang hilang:
1. Istri
orang yang hilang tidak boleh dikawinkan
2. Harta
orang yang hilang tidak boleh diwariskan
3. Hak-hak
orang yang hilang tidak boleh dibelanjakan atau dialihkan.
Ketidakbolehan
ketiga hal diatas sampai orang yang hilang tersebut sudah jelas statusnya. Bila
masih diragukan maka statusnya harus dianggap masih hidup sesuai dengan keadaan
semula. Dan yang berhak untuk menentukan seseorang yang hilang sudah meninggal
hanyalah hakim.
Mengenai
tenggang waktu untuk menentukan seseorang yang hilang masih dalam keadaan hidup
atau sudah mati masih belum ada persesuaian pendapat dari para ahli hukum, yang
akhirnya melahirkan beberapa pendapat:[35]
1. Seseorang
yang hilang dianggap sudah meninggal dunia apabila teman-teman sebayanya yang
ada di tempat itu sudah meninggal (pendapat yang dipegang oleh ulama
Hanafiyah), sedangkan bila diukur dengan jangka waktu Imam Abu Hanifah
mengemukakan harus terlewati 90 tahun. Pendapat ini sama dengan pendapat ulama
Syafi’iyah, tetapi penetapan matinya seseorang hanya dapat dilakukan oleh
keputusan lembaga pengadilan.
2. Seseorang
yang hilang dianggap sudah meninggal dunia apabila telah terlewati tenggan
waktu 70 tahun. Pendapat ini didasarkan kepada hadis yang mana merupakan
pendapat ulama Malikiyah. Sedangkan menurut riwayat Imam Maliki, bahwa bila ada
laki-laki yang hilang di Negara Islam dan terputus beritanya, maka istrinya
harus melapor kepada Hakim. Bila hakim tidak mampu untuk mendapatkannya, maka
istrinya diberi waktu menunggu selama 4 tahun, setelah lewat dari itu istrinya
beridah sebagaimana lazimnya seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya,
dan setelah itu diperkenankan kawin dengan laki-laki lain.
3. Orang
hilang menurut situasi dan kebiasaannya ia akan binasa (seperti waktu
peperangan, tenggelam waktu pelayaran atau pesawat udara jatuh dan temannya ada
yang selamat), maka orang yang hilang tersebut harus diselidiki selama empat
tahun, jika tidak ada kabar beritanya, maka hartanya sudah dapat dibagi
(pendapat yang dipegang ulama-ulama Hanabilah). Sedangkan apabila kehilangan
tersebut bukan disebabkan oleh peristiwa yang membawa kematian (seperti
berdagang atau merantau), ulama hnabilah berbeda pendapat:
a. Menunggu
sampai 90 tahun sejak ia dilahirkan
b. Diserahkan
kepada ijtihad hakim.
Tentang
kewarisan orang yang hilang hanya terdapat dua kemungkinan, yaitu:
1. Apabila
orang yang hilang tersebut menghijab atau menghalang ahli waris yang lainnya
secara hijab hirman, maka pembagian harta warisan harus ditangguhkan sampai
status hukum orang yang hilang tersebut pasti.
2. Apabila
tidak menghijab ahli waris yang ada, bahkan ia bersekutu untuk mewarisi bersama
ahli waris yang tinggal, mana yang tidak terhalang pembagiannya dapat diberikan
terlebih dahulu (secara sempurna), sedangkan jika bagiannya tidak sama andainya
orang yang hilang tersebut dalam keadaan hidup atau mati, maka kepadanya
diberikan bagian terkecil, sedangkan bagi ahli warisnya yang bagiannya
tergantung kepada kematian orang yang hilang, maka bagiannya ditangguhkan.
C.Warisan
Orang yang Mati Serentak
Sering
terjadi peristiwa seperti bencana alam dan kecelakaan misalnya, dimana itu
mengakibatkan beberapa orang mati secara serentak. Tidak jarang pula orang yang
mati serenntak tersebut adalah orang yang saling waris-mewarisi, seperti dalam
kecelakaan pesawat udara, yang mana seorang bapak meninggal dunia bersama
dengan ankanya, dengan perkataan lain tidak diketahui sama sekali siapa
diantara mereka yang meninggal dunia terlebih dahulu.
Dalam
kasus mati serentak, para ahli hukum islam berpendapat bahwa diantara mereka
tidak boleh saling waris-mewarisi. Alasannya disebabkan syarat-syarat bahwa
pewaris dan ahli waris tidak terpenuhi (tidak jelas), dengan demikian harta
warisan mereka hanya dapat diberikan kepada ahli waris mereka masing-masing
yang masih hidup.
Contoh
kasus: Dua orang bersaudara (B dan C) mengadakan perjalan dengan pesawat udara
bersama dengan Bapaknya(A), kemudian pesawatnya mengalami kecelakaan. Dua orang
bersaudara serta bapaknya meninggal dunia. B meninggalkan istri dan seorang
anak perempuan. C meninggalkan dua orang anak perempuan dan seorang anak
laki-laki kandung.
Penyelesaian
persoalan warisan A tidak sebagaimana lazimnya, yaitu bagian B menjadi warisan
istri dan anak perempuannya (D dan E) dan seluruh bagian C menjadi bagian dari
2 orang anak perempuan serta seorang anak laki-lakinya (F,G, dan H). Dalam
kasus ini, B dan C haruslah tidak dilihat atau dipandang sebagai ahli waris
dari A, sebab antara A, B, dan C tidak diketahui siapa yang meninggal lebih
dulu, sehingga tidak diketahui siapa yang menjadi ahli waris siapa. Jadi, yang
menjadi ahli waris langsung dari A adalah E , F, G, H dengan kedudukan sebagai
cucu laki-laki dan cucu perempuan, sedangkan D (istri B) bukan sebagai ahli
waris.
Dengan
demikian bagian laki-laki adalah 2 kali bagian perempuan, dan bagian
masing-masing adalah sebagai berikut:
-
E memperoleh 1/5 bagian
-
F memperoleh 1/5 bagian
-
G memperoleh 1/5 bagian
-
H memperoleh 2/5 bagian
C. Warisan
Orang yang Tertawan ( Asir)
Orang yang tertawan adalah orang yang ditawan karena
ditangkap atau kalah dalam suatu peperangan. Bila seseorang tawanan diketahui
dengan jelas alamat atau domisili tempat penawanannya dan status hidup atau
matinya jelas maka tidak akan menimbulkan persoalan terhadap masalah pewarisan.
Yang menjadi persoalan apabila yang terjadi sebaliknya, dengan kata lain
ketidakjelasan status tersebut (baik domisili, hidup dan matinya) akan
menimbulkan persoalan. Kebanyakan ahli hukkum menganalogikan seseorang tawanan
yang statusnya tidak diketahui dengan pasti, kepada orang yang hilang (mafqud)
sebagaimana dibicarakan sebelumnya,baik dalam kedudukannya sebagai pewaris
maupun sebagai ahli waris. Adapun yang menjadi illat hukumnya (dianalogikan
kepada orang yang hilang) adalah terletak kepada sama-sama tidak diketahui kabar beritanya. Sehingga, peran hakim
sangat menentukan untuk penyelesaian warisan orang yang dalam tawanan, tentunya
setelah terlebih dahulu ditempuh upaya untuk mendapatkan informasi perihal
orang yang tertawan.
D. Warisan
Khuntsa
Khuntsa adalah orang yang memiliki
alat kelamin laki-laki dan perempuan secara seklaigus, atau tidak memiliki alat
kelamin sama sekali. Dalamistilah hukum Islam disebut “Khuntsa Al-Musykil”,
dalam istilah sehari-hari sering disebut “wadam” (Hawa-Adam), “waria”
(wanita-pria).
[1] Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,
(Jakarta: Bina Aksara, 1982), hal.22
[2] Yati N. Soelistijono, S.H., C.N.
dan Neng Djubaedah, S.H., M.H., Hukum Kewarisan
Islam Indonesia, (Jakarta: Badan Penerbit FHUI, 2005), hal.1-2
[3] ibid
[4] Sajuti Thalib, op.cit, Hal.6
[5] Yati N. Soelistijono, S.H., C.N.
dan Neng Djubaedah, S.H., M.H., op.cit, hal.3
[6] Ibid, hal. 4
[7] Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut al-Quran dan Hadits, (Jakarta:
Tirtamas, 1981), hal.13
[8] Ibid
[9] Ibid, hal.16
[10] Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Prenada
Media, 2004), hal. 20
[11] Hazairin, op.cit, hal.14
[12] Ibid, hal.16
[13] Yati N. Soelistijono, S.H., C.N.
dan Neng Djubaedah, S.H., M.H., op.cit, hal.6
[14] Dr. Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam dalam
Lingkungan Adat Minangkabau, (Jakarta: PT Gunung Agung, 1984), hal. 18
[15] Suhrawardi K.Lubis, S.H dan
Komis Simanjuntak, S.H., Hukum Waris
Islam (Lengkap dan Praktis), (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal 35
[16] Abdul Wahab Kalaf, Usulu al Fiqhi, (Jakarta: Dewan Dakwah
Islam Indonesia, 1974), hal. 136
[17] Muhammad Daud Ali, Hukum dan Peradilan Agama, (Jakarta:
Grafindo Persada, 1997), hal.126
[18] Prof. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta:
Intermasa, 1977), hal.78
[19] Moh.
Anwar,
Faraidl Hukum Waris Dalam Islam dan
Masalah-Masalahnya, (Surabaya: Al-ikhlas, 1981), hal 31
[20] Ahmad Rofiq, Fiqh Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 22-23
[21] M. Idris Ramulyo, S.H., Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Ind
Hill-co,1987), hal 51
[22] ibid
[23] M. Ali Hasan, Hukum Warisan dalam Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1996), hal. 16
[24] Muslich Maruzi, Pokok-Pokok Ilmu Waris, (Semarang:
Mujahidin, 1981), hal.11
[25] Yati N. Soelistijono, S.H., C.N.
dan Neng Djubaedah, S.H., M.H., op.cit, hal.13-14C
[26] Syech Muhamad Ali Ash Shabuni, Hukum Waris Menurut Al-Quran dan Hadits,
(Bandung, Trigenda Karya, 1995), hal.16
[27] A. Rahmad Budiono, Pembaruan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal.10
[28] Ahmad Rofiq, op.cit, hal. 123
[29] Yati N. Soelistijono, S.H., C.N.
dan Neng Djubaedah, S.H., M.H., op.cit, hal.14-15
[30] Ahmad Rofiq, op.cit, hal. 24-31
[31] M. Idris Ramulyo, op.cit hal.55
[32] Suhrawardi K.Lubis, S.H. dan
Komis Simanjutantak, S.H., op.cit hal 60
[33] Muhammad Ali as-Shabuni, Hukum Waris Dalam Syariat Islam,
(Bandung: Diponegoro, 1988), hal.226-227
[34]
Ibid, hal. 228-233
[35] Ibid, hal. 236-237
makasih laura
ReplyDelete