May 1, 2013

Hukum Lingkungan - analisa Mandalawangi

Di dalam putusan No. 1794 K/Pdt/2004 dibahas mengenai gugatan yang diajukan oleh Dedi, Hayati, Entin, Oded Sutisna, Ujang Ohim, Dindin Holidin, Aceng Elim, dan Mahmud. Mereka adalah warga dari Kecamatan Kadung Ora, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat (Penggugat/Termohon Kasasi) yang mengajukan gugatan lewat gugatan perwakilan (class action) di Pengadilan Negeri Bandung atas dasar Strict Liability (tanggung jawab mutlak) melawan:
1.      Direksi Perum Perhutani Cq. Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat (Tergugat I/Pemohon Kasasi I)
2.      Pemerintah Republik Indonesia Cq Presiden RI (Tergugat II/Pemohon Kasasi II)
3.      Pemerintah Daerah Tk. I Provinsi Jawa Barat Cq Gubernur Provinsi Jawa Barat (Tergugat III/Pemohon Kasasi III)
4.      Pemerintah Republik Indonesia Cq Presiden RI Cq Menteri Kehutanan RI (Tergugat IV/Pemohon Kasasi IV)
5.      Pemerintah Daerah Tk. II Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Cq Bupati Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat (Tergugat V/Pemohon Kasasi V).

Kasus ini digugat oleh Penggugat karena adanya kejadian longsor di kawasan gunung Mandalawangi sehingga lingkungan hidup kawasan itu menjadi rusak dan menimbulkan kerugian warga Gunung Mandalawangi. Penggugat menyatakan bahwa longsor yang menimpa desa mereka berasal dari wilayah hutan yang berada dalam kekuasaan Perhutani, dan akibatnya mereka meminta agar pihak Perhutani bertanggung jawab atas strict liability atas kerugian yang terjadi. Pengggugat juga menggugat Pemerintah agar bertanggungjawab karena telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan melalaikan kewajibannya untuk melakukan pengawasan terhadap kegiatan Perhutani.
Dilihat dari faktor penyebabnya, bentuk kerusakan lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: kerusakan lingkungan hidup akibat peristiwa alam dan kerusakan lingkungan hidup akibat faktor manusia.[1] Kami sekelompok berargumen bahwa dalam Kasus Mandalawangi dengan Putusan No. 1794 K/Pdt/2004 dapat dikategorikan sebagai suatu kejadian yang merupakan bentuk kerusakan lingkungan hidup akibat faktor manusia karena kejadian ini telah dapat diprediksi sebelumnya oleh para tergugat namun mereka tetap tidak menjalankan prinsip kehati-hatian (Precautionary Principle) untuk mencegah terjadinya longsor.
The precautionary principle atau yang biasa disebut dengan prinsip kehati-hatian adalah salah satu prinsip hukum lingkungan yang dipakai saat ada ancaman yang serius tanpa diharuskan ada bukti yang cukup. Sehingga kurangnya bukti/kepastian ilmiah tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda dilakukannya tindakan pencegahan. Hal ini dapat digunakan untuk memutuskan apa yang seharusnya diperbolehkan untuk terjadi di masa depan. Pelanggaran terhadap prinsip kehati-hatian melahirkan suatu tanggung jawab mutlak kepada aparat tergugat tanpa bergantung pada ada tidaknya pembuktian dari para tergugat. [2]
Tergugat dalam hal ini mendalilkan bahwa kejadian longsor di Gunung Mandalawangi merupakan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi akibat bencana alam, berupa curah hujan diatas normal. Namun kami sekelompok tidak sependapat dengan Tergugat, kami mengategorikan kasus ini sebagai suatu kejadian yang merupakan bentuk kerusakan lingkungan hidup akibat faktor manusia karena kejadian ini telah dapat diprediksi sebelumnya oleh para tergugat namun mereka tetap tidak menjalankan prinsip kehati-hatian untuk mencegah terjadinya longsor. Dalil Tergugat tidak memenuhi syarat karena para tergugat yang telah mengetahui titik rawan longsor dan kemungkinan terjadi longsor tidak menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) sebelum kejadian longsor terjadi.
Tergugat terkait dengan Precautionary Principle terlihat Tergugat I tidak menerapkan prinsip tersebut karena walaupun telah ada bukti yang pasti dari hasil temuan yang menunjukkan bahwa terdapat beberapa titik rawan longsor, namun tetap tidak menanganinya secara khusus sehingga terlihat tidak ada upaya pencegahan yang disebabkan oleh Tergugat I. Prinsip ini walaupun dalam eksepsi dan memori kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I dahulu Tergugat I didalilkan bahwa belum berlaku sebagai hukum positif di Indonesia tetapi Precautionary Principle ini telah dipandang sebagai ius cogen yaitu sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat Internasional secara keseluruhan serta sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma hukum dasar Internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama
Hakim dalam mengadili kasus ini merujuk pada asas kehati-hatian sebagaimana dirumuskan dalam prinsip ke-15 Deklarasi Rio. Walaupun asas kehati-hatian belum dimasukkan ke dalam sistem hukum Indonesia, akan tetapi asas ini dapat digunakan oleh Pengadilan sebagai arahan bagi putusan Pengadilan. Ini termuat dalam pertimbangan hakim dalam Putusan No. 1794 K/Pdt/2004 yang mana tertulis Majelis Hakim dalam pertimbangan tingkat pertama menyatakan: “dalam keadaan kurangnya ilmu pengetahuan termasuk adanya pertentangan pendapat yang saling mengecualikan sementara keadaan lingkungan sudah sangat rusak, maka Pengadilan dalam kasus ini harus memilih dan berpedoman kepada prinsip hukum lingkungan yang dikenal dengan pencegahan dini “Precautionary Principle”, Prinsip ke-15 yang terkandung dalam asas Pembangunan Berkelanjutan pada Konperensi Rio tanggal 12 Juni 1992 (United Nation Conference an Environment and Development) walauppun prinsip ini belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia, tetapi karena Indonesia sebagai anggota dalam konperensi tersebut maka semangat dari prinsip ini dapat dipedomani dan diperkuat dalam mengisi kekosongan hukum dalam praktek”.
Sehingga hakim berpendapat dengan diterapkannya asas kehati-hatian dalam kasus ini, maka pertanggungjawaban telah bergeser dari pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (perbuatan melawan hukum) menjadi pertanggungjawaban tanpa kesalahan (strict liability). Di putusan ini Mahkamah Agung menolak alasan yang diajukan oleh tergugat karena menurut MA, baik Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi telah tepat menerapkan strict liability dalam mengadili kasus ini. Mahkamah Agung berpendapat penyebab dari longsor dan kegiatan pengelolaan hutan oleh tergugat telah terbukti, dan karena tergugat tidak dapat membuktikan sebaliknya maka tergugat bertanggungjawab secara mutlak atas kerugian yang terjadi. MA mendukung penerapan asas kehati-hatian sebagai dasar penetapan strict liability karena menurut MA, Hakim tidak salah menerapkan hukum bila ia mengadopsi ketentuan hukum Internasional. Penerapan precautionary principle di dalam hukum lingkungan hidup hanya untuk mengisi kekosongan hukum. Dan mengenai pendapat para Pemohon Kasasi (Tergugat) bahwa Pasal 1365 KUHPerdata dapat diterapkan dalam kasus ini tidak dapat dibenarkan karena penegakkan hukum lingkungan hidup dilakukan dengan standar hukum internasional yang mana ketentuan hukum Internasional dapat digunakan oleh hakim nasional apabila telah dipandang sebagai ius cogen.
Di tahun 2005, setelah prinsip kehati-hatian telah diakui melalui putusan pengadilan, melalui  PP No.  21 tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika (PRG), prinsip kehati-hatian masuk ke dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia.  Pasal 3 PP No. 21 tahun 2005 menyatakan bahwa ketentuan-kententuan yang diterapkan dalam PP ini menggunakan pendekatan kehati-hatian guna mencapai keamanan lingkungan.  Lebih jauh lagi, Penjelasan dari Pasal 3 ini menyatakan bahwa asas kehati-hatian diterapkan dalam bentuk adanya kewajiban melakukan penilaian resiko (risk assessment) dan pengelolaan resiko (risk management) sebelum diizinkannya penggunaan atau pemanfaatan PRG.[3]
Pengakuan terhadap prinsip kehati-hatian (precautionary principle) adalah sebagai sebuah prinsip pengelolaan lingkungan secara umum yang tidak hanya terbatas pada persoalan  GMOs akhirnya dimunculkan dalam peraturan perundang-undangan kita melalui  Pasal 2f UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dimana daam pasal itu dinyatakan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan didasarkan, salah satunya, pada asas kehati-hatian. Dalam Penjelasan Pasal 2f dijelaskan juga yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. bahwa ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup” penting lagi karena pengadilan juga berani melakukan  judicial activism  dengan memberikan penafsiran baru atas asas kehatihatian. Dalam hal ini pengadilan menafsirkan asas kehati-hatian dengan menghubungkannya dengan pertanggungjawaban perdata.  Dalam penafsiran seperti ini, asas kehati-hatian tidak lagi sekedar berfungsi sebagai tuntunan bagi pengambilan keputusan, tetapi juga sudah merupakan landasan bagi pertanggungjawaban perdata, sebab apabila kerugian muncul, maka pelaku usaha/kegiatan akan memikul tanggung jawab tanpa bisa berasalasan bahwa kerugian yang terjadi tidak bisa diperkirakan. Dengan kata lain, putusan ini mengimplikasikan bahwa kegagalan menerapkan asas kehatihatian dapat menimbulkan pertanggungjawaban perdata.  Menurut dugaan penulis, ini merupakan putusan pengadilan pertama di dunia yang secara tegas menghubungkan asas kehati-hatian dengan pertanggungjawaban perdata.[4]
Tergugat dalam hal ini mendalilkan bahwa kejadian longsor di Gunung Mandalawangi merupakan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi akibat bencana alam, berupa curah hujan diatas normal. Namun kami sekelompok tidak sependapat dengan Tergugat, kami berargumen bahwa dalam Kasus Mandalawangi dengan Putusan No. 1794 K/Pdt/2004 dapat dikategorikan sebagai suatu kejadian yang merupakan bentuk kerusakan lingkungan hidup akibat faktor manusia karena kejadian ini telah dapat diprediksi sebelumnya oleh para tergugat namun mereka tetap tidak menjalankan prinsip kehati-hatian untuk mencegah terjadinya longsor. Dalil Tergugat tidak memenuhi syarat karena para tergugat yang telah mengetahui titik rawan longsor dan kemungkinan terjadi longsor tidak menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) sebelum kejadian longsor terjadi.
Tergugat terkait dengan Precautionary Principle terlihat Tergugat I tidak menerapkan prinsip tersebut karena walaupun telah ada bukti yang pasti dari hasil temuan yang menunjukkan bahwa terdapat beberapa titik rawan longsor, namun tetap tidak menanganinya secara khusus sehingga terlihat tidak ada upaya pencegahan yang disebabkan oleh Tergugat I. Prinsip ini walaupun dalam eksepsi dan memori kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I dahulu Tergugat I didalilkan bahwa belum berlaku sebagai hukum positif di Indonesia tetapi Precautionary Principle ini telah dipandang sebagai ius cogen yaitu sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat Internasional secara keseluruhan serta sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma hukum dasar Internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama. Sehingga



Menurut kelompok kami, pertimbangan hakim sudah sangat tepat karena Precautionary Principle dapat diterapkan dalam kasus ini. Walaupun pada saat kasus ini diputus memang prinsip hukum lingkungan Precautionary Principle ini belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia karena masih menggunakan UUPLH lama yaitu Nomor 23 Tahun 1997 yang belum menganut  Precautionary Principle. Sehingga hakim dalam memutus akhirnya saat itu memilih dan berpedoman pada Precautionary Principle yang merupakan prinsip ke-15 Konperensi Rio. Walaupun prinsip ini belum masuk dalam perundang-undangan tetapi karena Indonesia merupakan salah satu anggota dalam konperensi tersebut maka dapatlah dipedomani dan diperkuat dalam mengisi kekosongan hukum dalam praktek.
Berbeda halnya jika kasus ini diputus saat ini karena telah ada UUPLH terbaru yaitu UU Nomor 32 Tahun 2009 yang mana sudah menganut Precautionary Principle. Sehingga jika kasus ini diputus saat sekarang maka dasar hukum nya telah jelas memakai perundang-undangan Indonesia yaitu Pasal 2F UU No. 32 Tahun 2009. Namun, hukum lingkungan pada umumnya memang banyak mendasarkan pada ketentuan-ketentuan hukum internasional. Lagipula sebagaimana dikatakan oleh hakim  Precautionary Principle ini telah dipandang sebagai ius cogen, yaitu sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan serta sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama. Dengan demikian, hakim tepat dalam menerapkan hukum apabila hakim mengadopsi ketentuan hukum Internasional, yaitu Precautionary Principle.


Para penggugat dan orang-orang yang diwakili mereka adalah korban tanah longsor Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora Kabupaten Garut dan telah menderita kerugian berupa hilangnya harta benda, rusaknya lahan pertanian dan ladang, meninggalnya sanak saudara dan rusaknya fasilitas umum serta kerusakan ekosistem setempat. Majelis Hakim Pengadilan Negeri dalam pertimbangannya (Nomor 49/Pdt.G/2003/PN.BDG, Tanggal 28 Agustus 2003), antara lain mengatakan bahwa negara memiliki tanggung jawab dalam pengelolaan lingkungan hidup. Tanggung jawab negara itu dilaksanakan oleh pemerintah yang dipimpin oleh Presiden RI, tetapi karena Presiden telah membentuk Menteri Kehutanan, maka pengelolaan kehutanan sepenuhnya telah menjadi tanggungjawab Menteri Kehutanan. Menteri Kehutanan telah memberikan kewenangan kepada Perum Perhutani Jawa Barat untuk mengelola kawasan hutan Gunung Mandalawangi. Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Garut sesuai dengan lingkup tugas masing-masing berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah, yang berlaku pada waktu terjadinya banjir dan longsor di Gunung mandalawangi juga memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan pengelolaan kawasan hutan Mandalawangi karena kawasan hutan itu berada dalam wilayah hukum Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut. Majelis Hakim dalam pertimbangannya juga mengatakan bahwa telah terjadi perubahan kebijakan pengelolaan kawasan hutan di Gunung Mandalawangi yang dilakukan oleh Menteri Kehutanan, yaitu dengan mengubah status fungsi kawasan hutan yang sebelumnya kawasan hutan lindung kemudian menjadi kawasan hutan produksi terbatas berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 419/KPTS/II/1999 dengan segala akibat-akibatnya seperti berkurangnya jumlah tegakan pohon dan kegagalan reboisasi sehingga kawasan hutan Mandalawangi tidak lagi memiliki kemampuan resapan air. Selanjutnya Majelis Hakim mengatakan bahwa kerugian lingkungan dan kerugian materiil para penggugat yang disebabkan oleh banjir dan longsor di Gunung Mandalawangi telah faktual sehingga tidak perlu dibuktikan lagi. Masalah hukum yang masih perlu dibuktikan adalah hubungan kausalitas, yaitu perubahan fungsi kawasan hutan Gunung Mandalawangi dari kawasan hutan lindung menjadi kawasan hutan produksi yang didasarkan pada perubahan kebijakan kehutanan sebagaimana tercermin dalam SK Menteri Kehutanan Nomor 419/KPTS/II/1999 telah menyebabkan banjir dan longsor. Hal yang menarik adalah Majelis Hakim juga dalam pertimbangannya merujuk pada prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yaitu prinsip ke-15 dalam Deklarasi Rio sebagai dasar untuk pemecahan masalah tentang “kurangnya ilmu pengetahuan” yang diperlihatkan dengan keterangan keterangan para saksi ahli dari kedua belah pihak yang saling bertentangan sehingga keterangan mereka tidak dapat dijadikan alat bukti untuk menyimpulkan penyebab fakta telah terjadinya banjir dan longsor di Gunung Mandalawangi. Meskipun prinsip keberhati-hatian belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia, tetapi karena Indonesia adalah sebagai salah satu negara peserta Konferensi Rio 1992, maka prinsip ini dapat dipedomani dan diperkuat untuk mengisi kekosongan hukum dalam praktik. Amar Putusan Pengadilan Negeri Bandung (Nomor 49/Pdt.G/2003/PN.BDG Tanggal 28 Agustus 2003) adalah sebagai berikut:
1.      Mengabulkan gugatan perwakilan (class action) dari para wakil kelompok masyarakat korban longsor Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut untuk sebagiannya.
2.      Menyatakan bahwa Tergugat I (Direksi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat), tergugat III (Menteri Kehutanan), tergugat IV (Pemerintah Provinsi Jawa Barat) dan tergugat V (Pemerintah Kabupaten Garut) bertanggungjawab secara mutlak (strict liability) atas dampak yang ditimbulkan oleh adanya longsor dikawasan hutan Gunung Mandalawangi, Kecamatan Kedungora Kabupaten Garut.
3.      Menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V tersebut untuk melakukan pemulihan keadaan lingkungan di areal hutan Gunung Mandalawangi tempat terjadinya longsor langsung dan seketika dengan ketentuan sebagai berikut:
Pertama, Pemulihan (recovery) di kawasan Gunung Mandalawangi dibebankan kepada Tergugat I dan Tergugat III dengan perintah supaya dilakukan rehabilitasi hutan dan lahan agar memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga, dengan biaya yang harus ditanggung oleh Tergugat I dan Tergugat III secara tanggung renteng, yang apabila akan diserahkan pelaksanaannya kepada masyarakat sesuai dengan Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan berpedoman pada Knomor 31/KPTSII/ 2001 Tanggal 12 Februari 2001 Tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, pendanaan tersebut tidak boleh kurang dari jumlah Rp. 20.000.000.000,- (dua puluh miliar rupiah) dengan disetorkan kepada Tim yang akan ditetapkan dibawah ini. Kedua, Menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V secara tanggung renteng membayar ganti kerugian kepada korban longsor Gunung Mandalawangi tersebut sebesar Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dengan disetorkan kepada Tim yang akan ditetapkan di bawah ini. Ketiga, Menetapkan prosedur pelaksanaan pemulihan lingkungan kawasan longsor di Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora serta tata cara pengalokasian dana ganti kerugian kepada wakil kelompok dan masyarakat korban yang tergabung ke dalam anggota kelompok gugatan perwakilan ini melalui satu tim/panel yang dikoordinasikan oleh Badan Perencana Pembangunan Daerah Pemerintah Kabupaten Garut sebagai Ketua Tim Perwakilan BAPEDALDA Pemerintah Kabupaten Garut, kuasa para wakil kelompok serta dua orang perwakilan dari Pusat Studi Lingkungan Hidup UNPAD Bandung masing-masing sebagai anggota. Keempat, memerintahkan kepada Gubernur Jawa Barat (Tergugat IV) untuk mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pembentukan Tim tersebut lengkap dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana isi diktum putusan ini. Kelima, memerintahkan kepada Tim/Panel tersebut untuk melakukan pemantauan dan melakukan upaya hukum manakala pelaksanaan pemulihan lingkungan tidak sesuai dengan perintah dalam putusan ini serta mengalokasikan dana ganti kerugian tersebut kepada masyarakat korban yang tergabung dalam wakil dan anggota kelompoknya yang jumlah dan identitasnya tercatat dalam Berita Acara Persidangan ini, secara adil sesuai dengan bobot dan besarnya kerugian berdasarkan jenis kerugian yang dideritanya. Keenam, menetapkan sebagai hukum bahwa manakala pembentukan Tim/Panel serta pengalokasian dana ganti kerugian sulit dilakukan, maka pelaksanaannya ditempuh proses pelaksanaan putusan (upaya paksa) dikoordinasikan oleh Panitera Pengadilan Negeri Kelas I B Bandung.
4.      Menyatakan putusan atas perkara ini dapat dilaksanakan secara terlebih dahulu walaupun ada upaya hukum dari para Tergugat (Uit voorbaar bij voorad).
5.      Menolak gugatan selain dan selebihnya. Putusan Pengadilan Negeri Bandung ini kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung (Putusan Nomor 507/PDT/2003/PT.Bdg Tanggal 5 Februari 2004) dengan perbaikan amar putusan tanpa mengubah substansi putusan. Mahkamah Agung Republik Indonesia (Putusan Nomor 1794 K /Pdt/2004 Tanggal 22 Januari 2007) juga menolak permohonan kasasi para tergugat atau para pembanding yang berarti Mahkamah Agung Republik Indonesia memperkuat putusan Pengadilan Negeri Bandung tersebut.



[1] Hardjaloka L,  ”Ketepatan Hakim dalam Penerapan Precautionary Principle  sebagai “Ius Cogen” dalam Kasus Gunung Mandalawangi Kajian Putusan Nomor 1794K/Pdt/2004,”  Jurnal Yudisial (2 Agustus 2012): 135
[2] Ibid, hal.134.
[3] Andri G. Wibisana, “Konstitusi Hijau Perancis: Komentar atas Asas- Kehati-hatian dalam Piagam Lingkungan Perancis 2004,” Jurnal Konstitusi (Juni 2011): 236
[4] Ibid, hal. 238.

Quote of the day

"Success is often achieved by those who don't know that failure is inevitable" -Coco Chanel-