1. Direksi
Perum Perhutani Cq. Kepala Unit Perum Perhutani Unit III Jawa Barat (Tergugat
I/Pemohon Kasasi I)
2. Pemerintah
Republik Indonesia Cq Presiden RI (Tergugat II/Pemohon Kasasi II)
3. Pemerintah
Daerah Tk. I Provinsi Jawa Barat Cq Gubernur Provinsi Jawa Barat (Tergugat III/Pemohon
Kasasi III)
4. Pemerintah
Republik Indonesia Cq Presiden RI Cq Menteri Kehutanan RI (Tergugat IV/Pemohon Kasasi
IV)
5. Pemerintah
Daerah Tk. II Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat Cq Bupati Kabupaten Garut
Provinsi Jawa Barat (Tergugat V/Pemohon Kasasi V).
Kasus ini digugat oleh
Penggugat karena adanya kejadian longsor di kawasan gunung Mandalawangi
sehingga lingkungan hidup kawasan itu menjadi rusak dan menimbulkan kerugian
warga Gunung Mandalawangi. Penggugat menyatakan bahwa longsor yang menimpa desa
mereka berasal dari wilayah hutan yang berada dalam kekuasaan Perhutani, dan
akibatnya mereka meminta agar pihak Perhutani bertanggung jawab atas strict liability atas kerugian yang terjadi.
Pengggugat juga menggugat Pemerintah agar bertanggungjawab karena telah
melakukan perbuatan melawan hukum dengan melalaikan kewajibannya untuk
melakukan pengawasan terhadap kegiatan Perhutani.
Dilihat dari faktor
penyebabnya, bentuk kerusakan lingkungan hidup dapat dibedakan menjadi dua macam,
yaitu: kerusakan lingkungan hidup akibat peristiwa alam dan kerusakan lingkungan
hidup akibat faktor manusia.[1] Kami
sekelompok berargumen bahwa dalam Kasus Mandalawangi dengan Putusan No. 1794
K/Pdt/2004 dapat dikategorikan sebagai suatu kejadian yang merupakan bentuk
kerusakan lingkungan hidup akibat faktor manusia karena kejadian ini telah
dapat diprediksi sebelumnya oleh para tergugat namun mereka tetap tidak
menjalankan prinsip kehati-hatian (Precautionary
Principle) untuk mencegah terjadinya longsor.
The
precautionary principle atau yang biasa disebut dengan
prinsip kehati-hatian adalah salah satu prinsip hukum lingkungan yang dipakai
saat ada ancaman yang serius tanpa diharuskan ada bukti yang cukup. Sehingga
kurangnya bukti/kepastian ilmiah tidak bisa dijadikan alasan untuk menunda
dilakukannya tindakan pencegahan. Hal ini dapat digunakan untuk memutuskan apa
yang seharusnya diperbolehkan untuk terjadi di masa depan. Pelanggaran terhadap
prinsip kehati-hatian melahirkan suatu tanggung jawab mutlak kepada aparat tergugat
tanpa bergantung pada ada tidaknya pembuktian dari para tergugat. [2]
Tergugat dalam hal ini
mendalilkan bahwa kejadian longsor di Gunung Mandalawangi merupakan kerusakan
lingkungan hidup yang terjadi akibat bencana alam, berupa curah hujan diatas
normal. Namun kami sekelompok tidak sependapat dengan Tergugat, kami
mengategorikan kasus ini sebagai suatu kejadian yang merupakan bentuk kerusakan
lingkungan hidup akibat faktor manusia karena kejadian ini telah dapat
diprediksi sebelumnya oleh para tergugat namun mereka tetap tidak menjalankan
prinsip kehati-hatian untuk mencegah terjadinya longsor. Dalil Tergugat tidak
memenuhi syarat karena para tergugat yang telah mengetahui titik rawan longsor
dan kemungkinan terjadi longsor tidak menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) sebelum
kejadian longsor terjadi.
Tergugat terkait dengan
Precautionary Principle terlihat
Tergugat I tidak menerapkan prinsip tersebut karena walaupun telah ada bukti
yang pasti dari hasil temuan yang menunjukkan bahwa terdapat beberapa titik
rawan longsor, namun tetap tidak menanganinya secara khusus sehingga terlihat
tidak ada upaya pencegahan yang disebabkan oleh Tergugat I. Prinsip ini
walaupun dalam eksepsi dan memori kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I
dahulu Tergugat I didalilkan bahwa belum berlaku sebagai hukum positif di
Indonesia tetapi Precautionary Principle
ini telah dipandang sebagai ius cogen yaitu sebagai suatu norma yang diterima
dan diakui oleh masyarakat Internasional secara keseluruhan serta sebagai norma
yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma hukum dasar
Internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama
Hakim dalam mengadili
kasus ini merujuk pada asas kehati-hatian sebagaimana dirumuskan dalam prinsip
ke-15 Deklarasi Rio. Walaupun asas kehati-hatian belum dimasukkan ke dalam
sistem hukum Indonesia, akan tetapi asas ini dapat digunakan oleh Pengadilan
sebagai arahan bagi putusan Pengadilan. Ini termuat dalam pertimbangan hakim
dalam Putusan No. 1794 K/Pdt/2004 yang mana tertulis Majelis Hakim dalam
pertimbangan tingkat pertama menyatakan: “dalam
keadaan kurangnya ilmu pengetahuan termasuk adanya pertentangan pendapat yang
saling mengecualikan sementara keadaan lingkungan sudah sangat rusak, maka
Pengadilan dalam kasus ini harus memilih dan berpedoman kepada prinsip hukum
lingkungan yang dikenal dengan pencegahan dini “Precautionary Principle”,
Prinsip ke-15 yang terkandung dalam asas Pembangunan Berkelanjutan pada
Konperensi Rio tanggal 12 Juni 1992 (United Nation Conference an Environment
and Development) walauppun prinsip ini belum masuk ke dalam perundang-undangan
Indonesia, tetapi karena Indonesia sebagai anggota dalam konperensi tersebut
maka semangat dari prinsip ini dapat dipedomani dan diperkuat dalam mengisi
kekosongan hukum dalam praktek”.
Sehingga hakim
berpendapat dengan diterapkannya asas kehati-hatian dalam kasus ini, maka
pertanggungjawaban telah bergeser dari pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan
(perbuatan melawan hukum) menjadi pertanggungjawaban tanpa kesalahan (strict liability). Di putusan ini Mahkamah
Agung menolak alasan yang diajukan oleh tergugat karena menurut MA, baik
Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi telah tepat menerapkan strict liability dalam mengadili kasus
ini. Mahkamah Agung berpendapat penyebab dari longsor dan kegiatan pengelolaan
hutan oleh tergugat telah terbukti, dan karena tergugat tidak dapat membuktikan
sebaliknya maka tergugat bertanggungjawab secara mutlak atas kerugian yang
terjadi. MA mendukung penerapan asas kehati-hatian sebagai dasar penetapan
strict liability karena menurut MA, Hakim tidak salah menerapkan hukum bila ia
mengadopsi ketentuan hukum Internasional. Penerapan precautionary principle di dalam hukum lingkungan hidup hanya
untuk mengisi kekosongan hukum. Dan mengenai pendapat para Pemohon Kasasi
(Tergugat) bahwa Pasal 1365 KUHPerdata dapat diterapkan dalam kasus ini tidak
dapat dibenarkan karena penegakkan hukum lingkungan hidup dilakukan dengan
standar hukum internasional yang mana ketentuan hukum Internasional dapat
digunakan oleh hakim nasional apabila telah dipandang sebagai ius cogen.
Di tahun 2005, setelah
prinsip kehati-hatian telah diakui melalui putusan pengadilan, melalui PP No.
21 tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika (PRG),
prinsip kehati-hatian masuk ke dalam peraturan perundangan-undangan di Indonesia. Pasal 3 PP No. 21 tahun 2005 menyatakan bahwa
ketentuan-kententuan yang diterapkan dalam PP ini menggunakan pendekatan
kehati-hatian guna mencapai keamanan lingkungan. Lebih jauh lagi, Penjelasan dari Pasal 3 ini
menyatakan bahwa asas kehati-hatian diterapkan dalam bentuk adanya kewajiban melakukan
penilaian resiko (risk assessment) dan pengelolaan resiko (risk management)
sebelum diizinkannya penggunaan atau pemanfaatan PRG.[3]
Pengakuan terhadap
prinsip kehati-hatian (precautionary
principle) adalah sebagai sebuah prinsip pengelolaan lingkungan secara umum
yang tidak hanya terbatas pada persoalan
GMOs akhirnya dimunculkan dalam peraturan perundang-undangan kita
melalui Pasal 2f UU No. 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dimana daam pasal itu
dinyatakan bahwa perlindungan dan pengelolaan lingkungan didasarkan, salah
satunya, pada asas kehati-hatian. Dalam Penjelasan Pasal 2f dijelaskan juga yang
dimaksud dengan prinsip kehati-hatian adalah bahwa ketidakpastian
mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda
langkah-langkah meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran
dan/atau kerusakan lingkungan hidup. bahwa ketidakpastian
mengenai dampak suatu usaha dan/atau kegiatan karena keterbatasan penguasaan
ilmu pengetahuan dan teknologi bukan merupakan alasan untuk menunda langkah-langkah
meminimalisasi atau menghindari ancaman terhadap pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup” penting lagi karena pengadilan juga
berani melakukan judicial activism dengan memberikan penafsiran baru atas asas
kehatihatian. Dalam hal ini pengadilan menafsirkan asas kehati-hatian dengan
menghubungkannya dengan pertanggungjawaban perdata. Dalam penafsiran seperti ini, asas
kehati-hatian tidak lagi sekedar berfungsi sebagai tuntunan bagi pengambilan
keputusan, tetapi juga sudah merupakan landasan bagi pertanggungjawaban
perdata, sebab apabila kerugian muncul, maka pelaku
usaha/kegiatan akan memikul tanggung jawab tanpa bisa berasalasan bahwa
kerugian yang terjadi tidak bisa diperkirakan. Dengan kata lain, putusan ini
mengimplikasikan bahwa kegagalan menerapkan asas kehatihatian dapat menimbulkan
pertanggungjawaban perdata. Menurut
dugaan penulis, ini merupakan putusan pengadilan pertama di dunia yang secara
tegas menghubungkan asas kehati-hatian dengan pertanggungjawaban perdata.[4]
Tergugat dalam hal ini
mendalilkan bahwa kejadian longsor di Gunung Mandalawangi merupakan kerusakan
lingkungan hidup yang terjadi akibat bencana alam, berupa curah hujan diatas
normal. Namun kami sekelompok tidak sependapat dengan Tergugat, kami berargumen
bahwa dalam Kasus Mandalawangi dengan Putusan No. 1794 K/Pdt/2004 dapat
dikategorikan sebagai suatu kejadian yang merupakan bentuk kerusakan lingkungan
hidup akibat faktor manusia karena kejadian ini telah dapat diprediksi
sebelumnya oleh para tergugat namun mereka tetap tidak menjalankan prinsip
kehati-hatian untuk mencegah terjadinya longsor. Dalil Tergugat tidak memenuhi
syarat karena para tergugat yang telah mengetahui titik rawan longsor dan
kemungkinan terjadi longsor tidak menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) sebelum
kejadian longsor terjadi.
Tergugat terkait dengan
Precautionary Principle terlihat
Tergugat I tidak menerapkan prinsip tersebut karena walaupun telah ada bukti
yang pasti dari hasil temuan yang menunjukkan bahwa terdapat beberapa titik
rawan longsor, namun tetap tidak menanganinya secara khusus sehingga terlihat
tidak ada upaya pencegahan yang disebabkan oleh Tergugat I. Prinsip ini
walaupun dalam eksepsi dan memori kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi I
dahulu Tergugat I didalilkan bahwa belum berlaku sebagai hukum positif di
Indonesia tetapi Precautionary Principle
ini telah dipandang sebagai ius cogen yaitu sebagai suatu norma yang diterima
dan diakui oleh masyarakat Internasional secara keseluruhan serta sebagai norma
yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma hukum dasar
Internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama. Sehingga
Menurut kelompok kami,
pertimbangan hakim sudah sangat tepat karena Precautionary Principle dapat
diterapkan dalam kasus ini. Walaupun pada saat kasus ini diputus memang prinsip
hukum lingkungan Precautionary Principle
ini belum masuk ke dalam perundang-undangan Indonesia karena masih menggunakan UUPLH
lama yaitu Nomor 23 Tahun 1997 yang belum menganut Precautionary
Principle. Sehingga hakim dalam memutus akhirnya saat itu memilih dan
berpedoman pada Precautionary Principle
yang merupakan prinsip ke-15 Konperensi Rio. Walaupun prinsip ini belum masuk
dalam perundang-undangan tetapi karena Indonesia merupakan salah satu anggota
dalam konperensi tersebut maka dapatlah dipedomani dan diperkuat dalam mengisi
kekosongan hukum dalam praktek.
Berbeda halnya jika
kasus ini diputus saat ini karena telah ada UUPLH terbaru yaitu UU Nomor 32
Tahun 2009 yang mana sudah menganut Precautionary
Principle. Sehingga jika kasus ini diputus saat sekarang maka dasar hukum nya
telah jelas memakai perundang-undangan Indonesia yaitu Pasal 2F UU No. 32 Tahun
2009. Namun, hukum lingkungan pada umumnya memang banyak mendasarkan pada
ketentuan-ketentuan hukum internasional. Lagipula sebagaimana dikatakan oleh
hakim Precautionary Principle ini telah dipandang sebagai ius cogen, yaitu sebagai suatu norma
yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan serta
sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu
norma dasar hukum internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama.
Dengan demikian, hakim tepat dalam menerapkan hukum apabila hakim mengadopsi
ketentuan hukum Internasional, yaitu Precautionary
Principle.
Para penggugat dan orang-orang yang
diwakili mereka adalah korban tanah longsor Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora
Kabupaten Garut dan telah menderita kerugian berupa hilangnya harta benda,
rusaknya lahan pertanian dan ladang, meninggalnya sanak saudara dan rusaknya
fasilitas umum serta kerusakan ekosistem setempat. Majelis Hakim Pengadilan
Negeri dalam pertimbangannya (Nomor 49/Pdt.G/2003/PN.BDG, Tanggal 28 Agustus
2003), antara lain mengatakan bahwa negara memiliki tanggung jawab dalam
pengelolaan lingkungan hidup. Tanggung jawab negara itu dilaksanakan oleh
pemerintah yang dipimpin oleh Presiden RI, tetapi karena Presiden telah
membentuk Menteri Kehutanan, maka pengelolaan kehutanan sepenuhnya telah
menjadi tanggungjawab Menteri Kehutanan. Menteri Kehutanan telah memberikan
kewenangan kepada Perum Perhutani Jawa Barat untuk mengelola kawasan hutan
Gunung Mandalawangi. Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten
Garut sesuai dengan lingkup tugas masing-masing berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, khususnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah, yang berlaku pada waktu terjadinya banjir dan
longsor di Gunung mandalawangi juga memiliki tanggungjawab untuk melaksanakan
pengelolaan kawasan hutan Mandalawangi karena kawasan hutan itu berada dalam
wilayah hukum Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Garut. Majelis Hakim dalam
pertimbangannya juga mengatakan bahwa telah terjadi perubahan kebijakan
pengelolaan kawasan hutan di Gunung Mandalawangi yang dilakukan oleh Menteri
Kehutanan, yaitu dengan mengubah status fungsi kawasan hutan yang
sebelumnya kawasan hutan lindung kemudian menjadi kawasan hutan produksi
terbatas berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 419/KPTS/II/1999 dengan
segala akibat-akibatnya seperti berkurangnya jumlah tegakan pohon dan kegagalan
reboisasi sehingga kawasan hutan Mandalawangi tidak lagi memiliki kemampuan
resapan air. Selanjutnya Majelis Hakim mengatakan bahwa kerugian lingkungan dan
kerugian materiil para penggugat yang disebabkan oleh banjir dan longsor
di Gunung Mandalawangi telah faktual sehingga tidak perlu dibuktikan
lagi. Masalah hukum yang masih perlu dibuktikan adalah hubungan kausalitas,
yaitu perubahan fungsi kawasan hutan Gunung Mandalawangi dari kawasan hutan lindung
menjadi kawasan hutan produksi yang didasarkan pada perubahan kebijakan
kehutanan sebagaimana tercermin dalam SK Menteri Kehutanan Nomor
419/KPTS/II/1999 telah menyebabkan banjir dan longsor. Hal yang menarik
adalah Majelis Hakim juga dalam pertimbangannya merujuk pada prinsip kehati-hatian
(precautionary principle) yaitu prinsip ke-15 dalam Deklarasi Rio
sebagai dasar untuk pemecahan masalah tentang “kurangnya ilmu pengetahuan” yang
diperlihatkan dengan keterangan keterangan para saksi ahli dari kedua belah
pihak yang saling bertentangan sehingga keterangan mereka tidak dapat dijadikan
alat bukti untuk menyimpulkan penyebab fakta telah terjadinya banjir dan
longsor di Gunung Mandalawangi. Meskipun prinsip keberhati-hatian belum masuk
ke dalam perundang-undangan Indonesia, tetapi karena Indonesia adalah sebagai
salah satu negara peserta Konferensi Rio 1992, maka prinsip ini dapat
dipedomani dan diperkuat untuk mengisi kekosongan hukum dalam praktik. Amar
Putusan Pengadilan Negeri Bandung (Nomor 49/Pdt.G/2003/PN.BDG Tanggal 28
Agustus 2003) adalah sebagai berikut:
1. Mengabulkan
gugatan perwakilan (class action) dari para wakil kelompok masyarakat
korban longsor Gunung Mandalawangi Kecamatan Kadungora, Kabupaten Garut untuk
sebagiannya.
2. Menyatakan
bahwa Tergugat I (Direksi Perum Perhutani Unit III Jawa Barat), tergugat III
(Menteri Kehutanan), tergugat IV (Pemerintah Provinsi Jawa Barat) dan tergugat
V (Pemerintah Kabupaten Garut) bertanggungjawab secara mutlak (strict
liability) atas dampak yang ditimbulkan oleh adanya longsor dikawasan hutan
Gunung Mandalawangi, Kecamatan Kedungora Kabupaten Garut.
3. Menghukum
Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat V tersebut untuk melakukan
pemulihan keadaan lingkungan di areal hutan Gunung Mandalawangi tempat
terjadinya longsor langsung dan seketika dengan ketentuan sebagai berikut:
Pertama,
Pemulihan (recovery) di kawasan Gunung Mandalawangi dibebankan kepada
Tergugat I dan Tergugat III dengan perintah supaya dilakukan rehabilitasi hutan
dan lahan agar memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan daya dukung,
produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga,
dengan biaya yang harus ditanggung oleh Tergugat I dan Tergugat III secara
tanggung renteng, yang apabila akan diserahkan pelaksanaannya kepada masyarakat
sesuai dengan Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan berpedoman pada Knomor
31/KPTSII/ 2001 Tanggal 12 Februari 2001 Tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan,
pendanaan tersebut tidak boleh kurang dari jumlah Rp. 20.000.000.000,- (dua
puluh miliar rupiah) dengan disetorkan kepada Tim yang akan ditetapkan dibawah
ini. Kedua, Menghukum Tergugat I, Tergugat III, Tergugat IV dan Tergugat
V secara tanggung renteng membayar ganti kerugian kepada korban longsor Gunung
Mandalawangi tersebut sebesar Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah) dengan
disetorkan kepada Tim yang akan ditetapkan di bawah ini. Ketiga,
Menetapkan prosedur pelaksanaan pemulihan lingkungan kawasan longsor di Gunung
Mandalawangi Kecamatan Kadungora serta tata cara pengalokasian dana ganti
kerugian kepada wakil kelompok dan masyarakat korban yang tergabung ke dalam
anggota kelompok gugatan perwakilan ini melalui satu tim/panel yang dikoordinasikan
oleh Badan Perencana Pembangunan Daerah Pemerintah Kabupaten Garut sebagai
Ketua Tim Perwakilan BAPEDALDA Pemerintah Kabupaten Garut, kuasa para wakil kelompok
serta dua orang perwakilan dari Pusat Studi Lingkungan Hidup UNPAD Bandung
masing-masing sebagai anggota. Keempat, memerintahkan kepada Gubernur
Jawa Barat (Tergugat IV) untuk mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pembentukan
Tim tersebut lengkap dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagaimana isi diktum
putusan ini. Kelima, memerintahkan kepada Tim/Panel tersebut untuk melakukan
pemantauan dan melakukan upaya hukum manakala pelaksanaan pemulihan lingkungan
tidak sesuai dengan perintah dalam putusan ini serta mengalokasikan dana ganti
kerugian tersebut kepada masyarakat korban yang tergabung dalam wakil dan anggota
kelompoknya yang jumlah dan identitasnya tercatat dalam Berita Acara
Persidangan ini, secara adil sesuai dengan bobot dan besarnya kerugian
berdasarkan jenis kerugian yang dideritanya. Keenam, menetapkan sebagai
hukum bahwa manakala pembentukan Tim/Panel serta pengalokasian dana ganti
kerugian sulit dilakukan, maka pelaksanaannya ditempuh proses pelaksanaan putusan
(upaya paksa) dikoordinasikan oleh Panitera Pengadilan Negeri Kelas I B Bandung.
4. Menyatakan
putusan atas perkara ini dapat dilaksanakan secara terlebih dahulu walaupun ada
upaya hukum dari para Tergugat (Uit voorbaar bij voorad).
5. Menolak
gugatan selain dan selebihnya. Putusan Pengadilan Negeri Bandung ini kemudian
dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung (Putusan Nomor 507/PDT/2003/PT.Bdg
Tanggal 5 Februari 2004) dengan perbaikan amar putusan tanpa mengubah substansi
putusan. Mahkamah Agung Republik Indonesia (Putusan Nomor 1794 K /Pdt/2004 Tanggal
22 Januari 2007) juga menolak permohonan kasasi para tergugat atau para
pembanding yang berarti Mahkamah Agung Republik Indonesia memperkuat putusan
Pengadilan Negeri Bandung tersebut.
[1] Hardjaloka
L, ”Ketepatan Hakim dalam Penerapan
Precautionary Principle sebagai “Ius
Cogen” dalam Kasus Gunung Mandalawangi Kajian Putusan Nomor
1794K/Pdt/2004,” Jurnal Yudisial (2
Agustus 2012): 135
[2] Ibid, hal.134.
[3] Andri G.
Wibisana, “Konstitusi Hijau Perancis: Komentar atas Asas- Kehati-hatian dalam
Piagam Lingkungan Perancis 2004,” Jurnal Konstitusi (Juni 2011): 236